Potret HAM dalam Sengketa Tanah Bandara

Perjalanan rencana proyek Bandara di wilayah Temon Kulonprogo telah banyak menyisakan problem serius bagi situasi HAM di Yogyakarta khusunya bagi semua warga terdampak. Rezim infrastruktur pembangunan berusaha meletakkan proyek ini menjadi bagian nilai strategis bagi spektrum pembangunan jangka panjang. Setidaknya dalih dan alasan besar itu yang terus didorong untuk meyakinkan bahwa proyek bandara harus diterima dan disetujui sebagai keniscayaan yang harus diambil dan dikerjakan. Kehendak pembangunan terus melegitimasi diri dengan janji-janji tentang proses pengembangan kesejahteraan warga secara menyeluruh. Bagi nalar pengembangan pembangunan, penyediaan infrastruktur strategis seperti bandara dianggap sebagai mekanisme penunjang yang bermanfaat besar bagi masa depan kemakmuran.

Sejak awal dimulainya pembangunan 25 Januari 2011, gagasan besar proyek ini seolah kian dipaksakan terus berjalan. Padahal banyak catatan serius dan cacat bawaan yang bisa kita dapatkan dari rencana proyek tersebut. Dampak awal  kasat mata yang jelas nampak adalah konsekuensi akan terjadinya penggusuran bear-besaran yang akan menimpa beberapa wilayah yakni 6 desa (Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebon Rejo dan Temon Kulon). Tidak semata dampak penggusuran, rencana besar proyek juga secara sosiologis, ekologis maupun budaya akan memberi dampak yang tidak kalah seriusnya..

Menimbang catatan itu, pada September 2012, atas berbaga inisiatif dan partisi[patif respon kritis masyarakat, berbagai warga di 6 dusun tersebut mendirikan organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT). Kepentingan dasar dari pembentukan organ ini adalah untuk memperkuat konsolidasi warga sebagai upaya untuk merespon proyek bandara yang tentu saja akan berdampak pada mereka. Sebagian besar warga secara berani menolak rencana proyek yang akan menyebabkan berbagai perubahan nasib warga. Proyek bandara dirasa bukan menjadi pilihan yang tepat dan bermanfaat bagi kawasan tersebut.

Sampai tahun 2016 ini, berbagai usaha penolakan terus dilakukan warga terdampak. Tak jarang berbagai proses intimidasi, ancaman, pemecahbelahan antar warga hingga kriminalisasi juga harus dihadapi. Beberapa warga dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan telah dipanggil dan berlanjut pada proses pengadilan. Bagi sebagai warga, proses kriminalisasi warga menjadi agenda penting negara untuk melemahkan gerakan warga sipil yang terus gencar melakukan aksi dan kerja-kerja penolakan. Secara ideal dan semestinya, harusnya proyek ini harus benar-benar wajib mendengarkan aspirasi warga. Namun jika menbaca fakta historisnya, negara (pemerintah) dan pihak-pihak yang berkepnetingan akan hadirnya bandara menutup mata dan bahkan tidak mengindahkan tuntuan warga.

Kasus sengketa tanah Bandara Kulonprogo menjadi partikel bagian dari situasi besar yang bisa menggambarkan nalar rezim infrastruktur yang sedang digalakkan. Apa yang sedang dikerjakan melalui berbagai pendirian instalasi proyek tersebut adalah asumsi akan terciptanya wajah percepatan pembangunan yang dengan sendirinya akan bisa dianggap mampu memenuhi aspek upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Alih-alih akan memberi ruang terbukanya akses kemakmuran warga, di banyak kasus proyek pembangunan ini sejak awal telah menjadi pemicu utama terjadinya peminggiran waga dan sekaligus berbagai situasi kekerasan konflik yang ada.

Dampak serius yang juga nampak jelas pada pemaksaan nalar infrastruktur ini adalah sebuah kerja-kerja politik ‘kuasa eksklusi’ yang kemudian meminggirkan dan mencerabut warga dari hak akses dasar asasi yang ia miliki, termasuk dalam soal kepemilikan lahan dan soal-soal sosial budaya yang lain. Atas nama pembangunan, negara seringkali abai dan seakan tuna moral untuk bisa melatakkan kebijakan yang peduli dan menghargai hak asasi manusia setiap warga yang rentan terdampak. Saat hak asasi dasar ini tercerabut maka akan melahirkan rangkaian lingkaran krisis pelanggaran HAM berikutnya yang lebih sistemik.

Menjadi tugas penting untuk merespon kasus ini dengan lebih kritis. Banyak fakta objektif yang juga harus dibaca dengan lebih cermat terutama untuk meletakan penangana kasus sengketa tanah bandara ini lebih bermartabat dan menghargai hak asasi warga terdampak. Untuk itu Pusham UII Yogyakarta melalui Linkar Reboan bekerja sama dengan LBH Yogyakarta berminat untuk mendiskusikan isu ini dengan berbagai kajian perkembangan yang terupdate (baru). Sekiranyanya hasil diskusi bisa memberi sumbangan berharga untuk upaya membantu memberikan spektrum yang lebih kritis terutama perjuangan untuk pemenuhan hak warga terdampak yang banyak tertimpa konsekuensi besar adanya proyek infrastrktur bandara.

Tujuan Diskusi :

  1. Mengkaji dan mengelaborasi secara kritis problem perkembangan kasus sengketa tanah bandara Kulonprogo dengan berbagai potret dampak seriusnya bagi hak asasi warga terdampak.
  2. Mengurai berbagai alternatif perspektif pembacaan untuk bisa memberikan sumbangsih bagi  penanganan kasus sengketa tanah bandara Kulonprogo
  3. Memberikan catatan-catatan dan sekaligus rekomendasi penting yang bisa diberikan (disumbangkan) pada berbagai pihak yang terkait, baik pemerntah, stakeholder kelembagaan negara yang lain dan juga warga terdampak dalam usaha untuk memperjuangkan pemenuhan akses hak-hak dasarnya.

Tempat dan waktu :

Hari Rabu, 21 Desember 2016.

Pukul   : 13.00 – 17.00 WIB

Tempat: Kantor Pusham UII Yogyakarta

Narasumber/Pembicara :

  1. Yogi Zul Fadhli (Divisi Advokasi LBH Yogyajarta)
  2. Martono (Wahana Tri Tunggal, Kulonprogo)
  3. Roy Murtadho (Direktur PKPD Tebuireng dan Editor ‘Islam Begerak’)
en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top