Mendorong Pemilu Damai Dan Substantif: Peta Jalan Menuju Perlindungan Hak Memilih

Perhelatan akbar pemilihan umum (pemilu) pada bulan April 2019 mendatang memiliki tempat spesial bagi masyarakat Indonesia. Tidak saja karena ia akan mempertemukan dua rivalitas lama yaitu Jokowi dan Prabowo yang sebelumnya pernah bertemu pada pemilu 2014 lalu. Melainkan juga karena ini merupakan kali pertama pemilu serentak akan diselenggarakan, meliputi pemilihan Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Oleh karenanya menarik untuk melihat apakah penyelenggaraan pemilu serentak ini jauh lebih efektif dan efisien, dan apakah hasilnya nanti benar-benar mampu mewujudkan sistem presidensiil yang juga efektif sebagaimana yang menjadi tujuan awal dipilihnya pemilu serentak.

Namun demikian, animo masyarakat yang demikian besar terhadap penyelenggaraan pemilu, pada satu sisi berdampak positif sebagai ajang pendidikan politik masyarakat. Tetapi pada sisi yang lain, juga memunculkan kekhawatiran tersendiri akan besarnya potensi konflik yang akan muncul. Ada banyak tantangan menghadapi penyelenggaraan pemilu serentak ini, sebagian besarnya adalah masalah lama yang terus menerus terjadi setiap kali perhelatan pemilu. Kenapa ini bisa terjadi? Tentu ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari aturan hukum yang memberikan celah terjadinya kecurangan, aparatur penyelenggara yang dengan mudah dapat dipengaruhi, mental calon pemimpin/wakil rakyat yang bobrok, hingga budaya masyarakat yang selain mudah terprovokasi juga sebagian besar tidak dibekali dengan pendidikan politik memadai. Kalau kita berkaca pada pengalaman masa lalu, maka tantangan pemilu serentak mendatang akan semakin kompleks dan bertingkat.

Pertama, menguatnya politik identitas. Belajar dari perhelatan pemilihan kepala daerah di Jakarta dan beberapa wilayah lain, wajah politik identitas yang belakangan ini menunjukkan penguatan yang cukup signifikan adalah fundamentalisme agama dan primordialisme kesukuan. Dua istilah ini memang masih bisa diperdebatkan, namun realitas riil berupa kampanye atas nama agama dan ajakan memilih orang yang hanya berasal dari suku yang sama mulai menguat. Celakanya, masyarakat Indonesia mudah sekali tersulut emosinya kalau sudah bicara masalah agama dan suku. Di beberapa daerah, setidaknya Batam, Riau, dan Lampung hampir saja terjadi kericuhan antar penduduk jika saja aparat kepolisian tidak bergerak dengan cepat. Politik identitas di Indonesia, pada satu sisi memang menggambarkan suara mayoritas yang kompak dan loyal, namun pada sisi yang lain ia memberangus suara minoritas. Dua isu ini, jika dibiarkan terus terjadi, tidak saja dapat merusak laju pertumbuhan demokrasi, namun juga mengancam persatuan NKRI. Diperparah pula dengan kabar hoaxs yang dengan mudah dan cepat dapat beredar di media, yang sampai hari ini belum ditemukan cara efektif untuk menangkalnya. Cara instan yang selama ini dilakukan adalah dengan mentersangkakan siapa saja yang dianggap kebablasan mengekspresikan kebebasan.

Keduakalau persoalan pertama di atas lebih mencerminkan persoalan politik, maka persoalan kedua ini lebih merupakan persoalan hukum, yaitu pengajuan perkara ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, adalah hak konstitusional warga negara. Oleh karenanya tidak dapat dikurangi apalagi ditiadakan. Namun dua persoalan yang juga harus diantisipasi, yaitu membludaknya jumlah pengajuan sengketa pemilu dan terjadinya praktik-praktik busuk di MK berupa penyuapan, gratifikasi, dan lain sebagainya. Hal ini bukan tidak mungkin dapat terjadi di MK, meski mendapatkan predikat sebagai negarawan, namun sudah ada dua mantan hakim MK yang sampai saat ini mendekam di penjara karena terbukti melakukan praktek korupsi, bahkan dengan nominal yang mengejutkan. Apalagi saat ini pengajuan permohonan sengketa hasil pemilu kerap dijadikan sebagai jalan terakhir (atau untung-untungan) untuk membatalkan hasil pemilu meskipun sudah nyata-nyata kalah. Jika sudah begini, maka berbagai macam upaya akan dihalalkan asal tujuan dapat tercapai. Ditambah lagi, pengawasan eksternal di tubuh MK sangat minim, dulu ada Komisi Yudisial yang menjalankan fungsi ini, namun dibatalkan sendiri oleh MK.

Merespon berbagai isu potensi konflik penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019 April mendatang, Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Universitas Islam Indonesia, bermaksud menyelenggarakan Seminar Nasional untuk membicarakan persoalan tersebut secara lebih mendalam.

Tujuan Kegiatan

Memetakan potensi konflik Pemilu Serentak 2019 dari perspektif politik dan hukum

Waktu dan Tempat  

Hari/ Tanggal  :  Kamis, 28 Maret 2019

Tempat            :  Ruang Sidang Lantai 3, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

                           Jl. Taman Siswa, Yogyakarta

Pembicara

  • Ø Keynote Speech         : Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., SH., SU.

Berbicara terkait dengan “Problematika Pemilu Serentak 2019”

  • Ø Pembicara pada kegiatan ini yaitu:
  1. Burhanuddin Muhtadi, MA., Ph.D., adalah Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pakar Politik Indonesia. Berhanuddin akan berbicara terkait Politik Identitas dalam Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019.
  2. Bivitri Susanti, SH., LLM., PhD., adalah Dosen Jantera yang juga pemerhati politik Indonesia. Abdul Gaffar akan berbicara Potensi Konflik Pemilu Serentak 2019.
  3. Prof. Dr. Ni’matul Huda, SH., M.Hum., adalah Dosen FH UII dan pakar Hukum Tata Negara Indonesia, beliau akan berbicara mengenai Potensi Konflik Pasca Pemilu.

Peserta

Peserta dalam kegiatan ini adalah mahasiswa, akademisi, praktisi, dan umum.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top