WAKIL RAKYAT VS DAULAT RAKYAT

Ada yang anomali dalam sistem perwakilan Indonesia. Anomali itu, kalau kita perhatikan dari fenomena yang terjadi belakangan ini, bahkan berada dalam substansi atau jantung dari sistem perwakilan itu sendiri. Sebagai negara demokrasi, Indonesia dalam konstitusinya dan juga dalam falsafah negara Pancasila telah memaklumkan bahwa dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, yang dipilih adalah demokrasi perwakilan. Oleh karena itu, ada wakil rakyat yang dipilih secara berkala setiap lima tahun sekali, untuk menyuarakan kepentingan rakyat dan mengimbangi kekuatan eksekutif agar tidak tak terkendali. Sayangnya, konsepsi sistem perwakilan sebagai pengejawantahan daulat rakyat itu tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan dalam banyak hal keduanya (wakil rakyat dan daulat rakyat) kerap berada pada titik yang berlawanan. Secara filosofis, dapat dikatakan bahwa daulat rakyat adalah kausa dari wakil rakyat, dengan kata lain eksistensi wakil rakyat merupakan derivasi dari daulat rakyat. Maka, saat wakil rakyat tidak lagi sejalan dengan daulat rakyat, sesungguhnya ia telah kehilangan esensinya atau kausanya sebagai wakil rakyat.

Fenomena Covid-19

Apa yang terjadi belakangan ini semakin memperkuat tesis itu, bahwa wakil rakyat kerap kali berhadap-hadapan dengan daulat rakyat. Fenomena wabah covid-19 telah memunculkan keprihatinan bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Efek dari wabah ini berkait kelindan dengan ruang hidup masyarakat yang lain, utamanya terhadap pekerjaan mereka, baik yang bekerja pada sektor barang maupun jasa. Para pedagang harus menutup usaha mereka karena minimnya transaksi, para penjual jasa baik kasar maupun profesional kehilangan pelanggan mereka, perusahaan-perusahaan besar tidak dapat beroperasi sehingga berdampak pada PHK terhadap karyawannya, dan masih banyak sektor terdampak lainnya.

Sayangnya, ditengah situasi itu, kita justeru melihat, mendengar, dan membaca berita yang menyesakkan dada akibat ulah wakil rakyat kita di parlemen. Beberapa hari belakangan ini, parlemen tengah disibukkan dengan pelaksanaan tahapan pembahasan dan pengesahan beberapa Randangan Undang-Undang. Ironinya, RUU  yang dibahas dan akan disahkan itu, sama sekali tidak terkait dengan kondisi yang tengah dihadapi masyarakat saat ini. Justeru RUU yang sangat kontroversial, yang dalam kondisi biasa dapat dipastikan akan memunculkan gelombang protes masa yang besar. Beberapa RUU itu misalnya, RUU Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan, dan RKUHP, tiga RUU ini telah berulangkali batal disahkan karena dianggap memiliki cacat substansial dan prosedural. Kini, saat masyarakat dan pemerintah tengah sibuk berjibaku dengan wabah covid-19, parlemen justeru memanfaatkan kesempatan itu secara “diam-diam”.

Barangkali parlemen menilai penanganan wabah covid-19 ini adalah tugas pemerintahan eksekutif, sedangkan parlemen berada pada wilayah yang lain. Padahal, parlemen adalah wakil rakyat, artinya segala derita yang muncul pada rakyat, juga mengikat wakil rakyat. Tesis ini, mewajibkan parlemen mengambil peran aktif dalam setiap keadaan yang menimpa rakyat, termasuk dalam pandemi covid-19 ini.

Demokrasi Sebagai Etos Politis

Realitas di atas, menandakan ada masalah atau bahkan ada yang salah dengan demokrasi sebagai sistem politik di negara kita. Pandangan demokrasi sebagai sistem politik memang banyak dianut dewasa ini. Orang seakan yakin bahwa jika sistem politik sudah tertata secara demokratis, aktornya pun (termasuk masyarakat) menjadi demokratis. Optimisme semacam itu segera mendapat tantangannya dari kenyataan empiris bahwa cukup banyak negara di Amerika Latin, Eropa Timur, dan di Asia (termasuk Indonesia sendiri), memiliki konstitusi demokratis, tetapi konstitusi ini tidak serta merta mewujudkan demokrasi real. Kantong anggur yang baru berisi anggur yang lama. Di sinilah kita meminjam konsepsi dari F. Budi Hardiman, bahwa kita perlu membedakan demokrasi sebagai sistem politis dan demokrasi sebagai etos politis. Sebagai sistem politis, demokrasi adalah sebuah mekanisme politis untuk pengambilan kebijakan publik yang mewujudkan kedaulatan rakyat atau kepentingan umum. Berlainan dengan itu, sebagai etos politis, demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakkan individu-individu untuk menjalankan demokrasi. Etos politik ini tidak berada pada sistem, namun melekat pada aktor pelaksanan demokrasi, masyarakat dan penyelenggara negara. Apa yang kita saksikan belakangan ini, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia baru pada tataran sistem politis, namun mentalitas pada aktornya masih otoritarian. Itulah mengapa di tengah pandemi covid-19 ini, tidak tampak simpati wakil rakyat atas rakyat, yang terjadi justeru sebaliknya wakil rakyat berhadap-hadapan dengan pemilik daulat.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top