Tragedy of Humans and Humanity: The Largest Holocaust After Nazi

Selama satu tahun ini, teman-teman dan para ikhwan gerakan Islam di Solo dan Yogyakarta telah belajar bersama-sama dengan Pusham UII, Tim Pengacara Muslim (TPM) Jateng, LBH Yogyakarta dan berbagai organ lain dalam apa yang disebut dengan gerakan advokasi hak asasi manusia. Berbagai training dan diskusi selalu membahas dengan sengit berbagai pengalaman gerakan dan sekaligus pengalaman ketertindasan dimana umat Islam, kerapkali menjadi korban kejahatan aparat Negara, sejak zaman orde baru hingga era reformasi ini. Beberapa buku dan bahan bacaan didiskusikan untuk memperkaca wawasan, meningkatkan keterampilan dan mengasah sensifitas.

Salah satu agenda yang kerap saya sampaikan kepada para ikhwan itu adalah bahwa para aktivis Islam belum mempunyai karya penelitian dan dokumentasi yang brilian dalam bidang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Rezim Orde BAru dan orde reformasi ini dalam isu terorisme. Sebaliknya, para aktivis gerakan Kiri dan Komunis telah mempunyai puluhan judul buku yang mencatat, merekam, mendokumentasikan dan menganalisa pengalaman mereka sebagai korban kejahatan rezim Soeharto dalam peristiwa 65/66, atau peristiwa pasca G.30 S. 65. Hal ini berbeda setarus delapan puluh derajat dengan rekan-rekan aktivis Islam yang pernah menjadi korban rezim orde baru dan reformasi ini, sejak peristiwa Komando Jihad, Usroh, Tanjung Priok, Lampung, hingga isu Terorisme belakangan ini.

Menurut hemat saya, para aktivis Islam (gerakan Islam) perlu belajar dari kelompok ini: tentang bagaimana cara mereka merekam sejarah ketertindasan itu dan membuatnya sebagai ‘panggung kekejaman’ rezim berkuasa di masa lalu. Salah satu buku yang patut dipelajari adalah buku ini: ‘Tragedi Manusia dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah Nazi’ yang ditulis oleh M.R Siregar. Buku ini mengupas secara gamblang bagaimana berbagai peristiwa dan sistematika pelanggaran HAM terjadi, dan akar masalah, konteks ekonomi serta politik yang melatarbelakanginya.

Genealogi “politik” HAM

Bab satu dan kedua, buku ini mengupas akar masalah sejarah ekonomi dan politik di Indonesia dimana gerakan Kiri dan Komunis termasuk kelompok Radikal yang dalam banyak hal pilihan politiknya sama dengan apa yang diambil oleh mantan “Amir” DI/TII S.K.M. Kartosuwiryo. Sikap sayap kiri ini sangat penting untuk dicatat: penolakan terhadap manifesto politik Belanda, perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renvile yang tujuannya adalah menyangkut apa yang selama ini kita sebut dengan problem HAM Ekosob, yakni pemerintah yang bekerja untuk kepentingan modal/negara asing dengan mengorbankan kehidupan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat. Masa kabinet Hatta, merupakan salah satu periode penting di awal kemerdekaan politik RI, dimana pemerintah menerima tekanan Amerika, Belanda dan Inggris dengan membiarkan perusahaan-perusahaan asing menguras kekayaan dan sumber daya alam strategis.

Dengan mengutip Kreutzer, MR Siregar menuliskan lagi bagaimana perusahaan asing mampu menaklukan pemerintah RI dan menguras kekayaan alam negeri ini (hlm 14):

“pada hari-hari itu (awal November 1945, red), Amerika Serikat telah memperoleh kepentingan- kepentingan yang cukup besar di kepulauan Indonesia. Perusahaan-perusahaan swasta Amerika telah mulai menambang biji nikel dan besi di Sulawesi (Celebes). Industri-industri pertambangan di Bangka dan Belitung mengekspor seng dan timah di Amerika Serikat. Standart Oil Rockefeller telah menggali kurang lebih 500 sumur minyak di Sumatra. Di pulau yang sama Goodrich dan raksasa karet lainnya memiliki perkebunan-perkebunan sekitar 100.000 ha untuk masing-masing.”

Dalam tekanan tersebut, hanya front persatuan nasional yang dapat mengalahkan kaum imperialis itu. Sayangnya, front ini yang dulu digagas Muso dan PKI ditolak oleh Masyumi dan PNI (hlm. 18). Dengan kata lain, sejarah juga menunjukan bahwa berbagai faksi dan elit gerakan nasional, pada akhirnya akan saling mengalahkan dan membunuh untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan internasional. Sejarah pada akhirnya menjadi milik Hatta, yang kemudian belakangan milik Jendral Soeharto dengan dukungan Amerika dan negara-negara imperialis lainnya.

Bila problem Hak Asasi Manusia, di antaranya berakar pada negara yang mengabdi pada kapitalisme, seperti yang ditunjukan oleh UU PMA 2007 belakangan ini, maka dominasi dan imperialisme pasca kolonial terbukti gagal untuk dilawan dan dihilangkan. Dengan kata lain, pembaharuan UU PMA, UU SDA, UU Migas dan berbagai perundang-undangan lain yang bertentangan dengan UUD 1945, dan UU HAM 1999, UU No. 11/2005 tentang HAM Ekosob, telah memiliki akar struktural dan sejarah yang penting untuk dibaca lagi melalui buku ini.

Kekerasan Tentara Pemerintah, dalam kabinet Hatta yang secara diam-diam bekerjasama dengan Amerika juga terjadi di masa-masa revolusi yang menjadi jalan awal dari sejarah panjang kekerasan tentara Indonesia terhadap buruh, yang masih berlangsung hingga hari ini. Hal yang sama dilakukan setelah PKI tumbang di masa-masa orde baru, terhadap para aktivis Islam di Pula Jawa dan Sumatra.

Bila SBY gagal dan tidak mampu memberikan perlindungan HAM Ekosob kepada korban lumpur Lapindo, pemerintah tidak mampu melindungi buruh (menyangkut hak-hak buruh yang telah ditetapkan dalam UU Hak Ekosob, No. 11 tahun 1005), yang notabene adalah rakyatnya dari Perusahaan hari ini, maka akar masalahnya sudah berlangsung pasca perjanjian KMB tahun 1949. Salah satu nota kesepakatan pemerintah RI dan Belanda adalah menjamin perkebunan/tanah dan perusahan asing tidak dinasionalisasi, tidak diberikan pada para petani (yang telah dirampas masa kolonial), bahkan sebagian diberikan kepada Amerika Serikat. Duet Soekarno-Hatta, didukung oleh PNI, PSI dan partai lain telah memberikan secara cuma-cuma kepada para kolonialis itu tanah-tanah, perkebunan dan perusahaan. Inilah kemerdekaan yang tidak sepenuhnya, sebagaimana yang masih berlangsung hingga hari ini. Di kalangan Islam, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) saat itu sangat menentang kebijakan-kebijakan paska-kolonialis itu.

Aksi-aksi buruh dan petani di Sumatra Utara, di Jawa Timur, kemudian disambut dengan berondongan senjata, dan pembunuhan-pembunuhan terhadap aktivis buruh dan tani oleh Tentara. Pemerintah dan militer menjadi alat kapitalisme pasca kolonial yang sedang memperbaiki dirinya pasca PD II (hl, 51, 215). Mari kita lihat catatan MR Siregar:

“Tuntutan pihak perkebunan asing melibatkan sekitar 28.000 keluarga di Jawa dengan luas tanah sekitar 80.000 ha, di antaranya 20.000 ha di Malang (Jawa Timur). 23.000 ha di Kediri dan

14.000 ha di Suarakarta (Jawa Tengah). Di Sumatra terdapat 150.000 keluarga, atau sama dengan 750.000 jiwa. Tanah yang hendak dirampas kembali ini tak sedikit yang telah digarap petani sejak pendudukan Jepang, dan sepanjang tahun-tahun nperjuangan bersenjata membela kemerdekaan 1945-1949, telah memberikan sumbangan yang tidak kecil kepadan republik.”

..“Tetapi berdasarkan persetujuan KMB, tanah-tanah tersebut harus dikembalikan kepada “pemiliknya” semula yaitu para pemegang konsesi kolonial. ….Menteri dalam negeri Mr. Moh Roem (Masyumi) dan Gubernur Sumatra Utara Abd. Hakim (Masyumi) tanpa perasaan iba apalagi keadilan barang sedikitpun mengerahkan stauan-satuan Polisi mengawal traktor-traktor yang dikerahkan pihak perkebunan menggilas tanah-tanaman-tanaman dan rumah-rumah kamu tani di berbagai tempat di Sumatra Timur, khususnya di Tanjung Morowa. Pentraktoran dilakukan ketika padi sedang menguning, dan tanaman palawija siap untuk dipanen.”

Kita kemudian disadarkan oleh buku ini, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak petani, buruh dan HAM secara umum, telah memiliki fondasi yang begitu kuat di jantung kekuasaan di republik ini. Pelanggaran- pelanggaran ini, dan keberpihakan Tentara, khususnya Angkatan Darat pada Neokolonialisme seperti pemusnahan terhadap petani di atas telah menjadi “kondisi yang dipersiapkan” untuk holokaus yang tidak terperikan itu. Penghisapan atas buruh, penindasan terhadap petani (yang notabene mayoritas mereka adalah umat Islam), menjadi kenyataan yang terus berlanjut hingga hari ini. Sukses terpenting dari pembantaian 65/66 adalah penghancuran segala bentuk gerakan sosial yang berbasis pada pemenuhan dan perjuangan hak-hak rakyat. Dan seperi kita semua tahu, setelah 65/66 Rezim Soeharto dengan leluasa “membantai umat Islam” di berbagai wilayah di Indonesia.

Buku ini merupakan pencapaian gerakan ghazwul fikri yang tangguh dari korban 65/66 di Indonesia. Ini merupakan bahan pelajaran yang sangat penting bagi gerakan Islam di negeri ini. Buku ini merekam dan mencatat ulang sejumlah peristiwa kekerasan HAM, kejahatan HAM, yang tidak saja sebagai sebuah holokaus, namun juga hingga taraf tertentu menjadi genosida yang patut diingat dan dibuka secara publik. Secara spesifik, deskripsi secara detil, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Jenderal Soeharto dan Rezim Orde baru, terdapat dalam bab ‘VI: Dimensi Holokaus dari Tragedi ini’ (hlm. 201—317). Kemudian dimensi struktural, ekonomi, dan politik HAM di Indonesia diurai dengan sangat panjang lebar, dalam dua bab: bab VII, Hak Menentukan Nasib Sendiri di Depan Kemahakuasaan Imperialisme (318—397); dan bab VIII, Dimensi Struktural dari Tragedi Ini (398—520).

Korban Kejahatan dalam ‘Tragedi Kemanusiaan’

Mari kita lihat beberapa peristiwa kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun-tahun yang mengerikan itu.

Bentuk KejahatanDeskripsiKeterangan
Pogrom (massa yang melakukan serangan)Aksi ini terjadi secara serentak, meluas dan sistematis, terjadi di hampir seluruh kota dan provinsi di Indonesia.Misalnya yang menimpa seorang ibu dan 3 naknya yang masih kecil di Sumatra Utara (h.216-217), menimpa Pramudya Anata Toer di Jakarta (217-218)
Penahanan (dipenjara) tanpa proses pengadilanPara korban setelah ditangkap, mereka disiksa di kamp-kamp penahanan (kantor polisi, tentara, atau gedung lainn), selama bertahun-tahun.Misalnya lagi yang menimpa sang ibu di atas, ditahan selama 5 tahun.
“Penyembelihan”“Di Jakarta, sekawanan Pogrom menjerang air dalam drum. Ketika sudah menggelagak (mendidih), seseorang yang mereka amankan …dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas dicelupkan di dalamnya…kepuasan mereka lepas dalam tawa dan sorak sorai…ketika korban dikeluarkan dari drum maka sang korban …Kulitnya melepuh dan sebagian mengelupas matang…serta kedua bola matanya meletup…di sebuah kmapung di Jakarta sebuah keluarga berakhir dengan sebutam “Sate Komunis”. (h.223)Perburuan daging komunis di Jawa Tengah dipimpin oleh Kol. Sarwo Edhie. 800 orang dibunuh dengan pukulan batang-batang besi pada kepala (h.223)

Masih banyak contoh lain, yang digambarkan oleh MRS secara detil, dengan beberapa contoh di beberapa provinsi. Penyiksaan dalam tahanan , kondisi dalam penjara yang tidak manusiawi, yang menyebabkan banyak tahanan meninggal perlahan-lahan (232—236). Penyiksaan ketika diinterogasi (238— 244). Demikian halnya kondisi kerja pakasa, seperti zaman pendudukan Jepang. Tak lupa buku ini merekam beberapa proses pengadilan sudah barang tentu dapat dengan mudah diketahui hasilnya (252—289). Tidak berhenti pada “kematian” di penjara, selepas dari tahanan, mereka kemudian menjadi warga “sub-human” (untuk yang kedua kalinya) di masyarakat (289—317).

Pelaku

Mengenai pelaku kekerasan dan kejahatan tersebut, MRS melukiskan seorang Jendral Sumitro, sebagaimana yang dia kutip dari wawancara Sumitro dengan televisi BBC.

“dihias dengan senyumdibiir, wajah yang cerah dan riang gembira, jenderal pensiunan Sumitro dengan bangga memberitahukan bahwa dialah orangnya yang diberikan kepercayaan oleh Soeharto untuk mengomandani penyembelihan dalam tahun-tahun gelap gulita yang penuh genangan darah dan air mata….Sumitro menyebut kampanye maut itu sebagai “hunting” (perburuan)…” (hlm. 222—223)

Pelaku lain yang digambarkan oleh MRS adalah Kolonel Sarwo Edhie (mertua presiden SBY): “Perburuan daging manusia anti komunis di provinsi ini (Jateng, penulis) dikepalai oleh seorang opsir yang sangat bengis Kolonel Sarwo Edhie. Sarwo Edhie melatih dua tiga hari grup-grup pemuda naisonalis dan Islam dan kemudian melepaskan mereka keluar untuk melakukan pembunuhan.” (hlm. 223) Penjelasan lain mengenai pelaku: “..Di Jawa Timur, di Lawang, di Kabupaten Malang, para korban digantung dan dengan kejam dipukuli oleh anggota-anggota ANSOR, di bawah perlindungan satuan tentara Zipur V (sejenis satuan Zeni) di Singosari Malang, para korban di Pancung (hlm. 224).

Militer AD dengan sangat lihat melibatkan seluruh elemen ideologi, organisasi dan kelompok masyarakat, yang hendak menutupi kejahatannya dengan lumuran darah orang-orang sipil yang terprovokasi membantai komunis. Dengan miris MRS Siregar menggambarkannya:

“Kebuasan dalam penyembelihan, selain sangat beraneka ragam dam juga sangat inovatif, kreatif dan kompetitif. Para algojo yang Protestan, Katolik, dan Hindu Bali tidak mau kalah dari yang Islam. Begitu juga yang nasionalis dari yang “sosialis” dan liberal.” (hlm. 224)

Bahkan disebutkan, setiap jendral memiliki target membunuh 100.000 orang PKI atau yang dituduh PKI (hlm 215—216). Ditambah keterlibatan pelaku dari kalangan sipil yang anti komunis telah membuat pelanggaran HAM ini merupakan kejahatan yang sulit untuk diproses melalui mekanisme hukum, sosial dan apalagi politik. Jalan terakhir yang disepakati oleh MPR tahun 1999 adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ironisnya, sebelum komisi ini dibentuk Rancangan UU yang akan mengaturnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pelanggaran HAM dalam peristiwa pasca 1 Oktober 65, sangat terkait dengan dimensi ekonomi politik imperialisme dan neokolonialisme. Kaitan dan dimensi tersebut masih berjalan hingga sekarang yang diurai dengan sangat menarik pada bab-bab berikutnya. Dampak stuktural, dan ini yang lebih parah dari holokaus dan kejahatan yang biadab terhadap komunisme adalah apa yang sekarang bisa disebut imperialisme global menancapkan kakinya di Indonesia. Pengusaan berbagai SDA oleh perusahaan asing. Otoritarianisme, oligarki politik yang menghamba pada kepentingan modal global (neoliberalisme) dan ‘telinga pemerintah yang bebal’, kedap dari suara-suara penderitaan rakyat. Terus berlangsung hingga hari ini. Pelanggaran HAM pelan-pelan berlangsung secara sistematis pasca 65/66.

Pasca Orde Baru, trend pelanggaran HAM mulai bergeser, kembali ke masa-masa awal 50-an, ketika pemerintah dan tentara berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Lebih dari itu, kita semua masih hidup dalam ‘orde baru’ yang ditanamkan ke dalam mind kita: tentang kejahatan dan kebengisan PKI, dan bahaya gerakan Islam Radikal melalui isu terorisme. Mampukah kita membebaskan diri kita dari belenggu Orde Baru itu?. Maka sudah saatnya juga para aktivis Islam Radikal membuat karya serupa yang telah dibuat MR Siregar. Meskipun aktivis Islam berbeda ideologi dan gerakan dengan mereka, namun buku ini menyimpan ‘hikmah’ yang dapat dipetik, agar menjadi kekuatan bagi gerakan Islam dalam memperjungkan hak asasinya yang telah dirampas sejak zaman orba hingga orde reformasin ini.

(tulisan ini pernah menjadi bahan diskusi dalam Acara Beda Buku ini, tahun 2007 di Yogyakarta)

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top