Pandemi corona “memaksa” kita untuk merubah seluruh aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, tentu saja termasuk aspek ketatanegaraan. Berdasarkan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 30 Maret lalu, Pemilihan Kepala Daerah yang sejatinya akan diselenggarakan pada bulan September 2020 mendatang, sepakat untuk ditunda.
Penundaan Pemilihan Kepala Daerah di tengah pandemi corona ini, memang patut mendapat apresiasi. Keselamatan dan kesehatan masyarakat, saat ini jauh lebih utama untuk menjadi perhatian bersama. Terlebih, pemerintah pusat, meskipun bersikap setengah-setengah, melibatkan peran pemerintah daerah untuk menangani penyebaran virus ini, di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Dengan kata lain, fokus perhatian Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, tentu saja sebaiknya mengutamakan penanganan virus. Namun, bukan berarti perhatian terhadap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah kita lepaskan, segala kemungkinan yang akan terjadi harus pula kita pikirkan, karena Pemilihan Kepala Daerah tidak hanya menyangkut aspek ketatanegaraan, melainkan juga bersentuhan dengan keutuhan NKRI.
Dalam perjalanan legislasi Indonesia, penundaan Pemilihan Kepala Daerah bukanlah kali pertama, karena alasan bencana alam, Pemilihan Kepala Daerah di Aceh dan Yogyakarta juga pernah mengalami penundaan. Selain itu, sekalipun Pemilihan Kepala Daerah serentak yang sesungguhnya belum pernah terlaksana, namun pada tataran legislasi juga pernah mengalami perubahan jadwal. Gagasan Pemilihan Kepala Daerah langsung serentak nasional pada awalnya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pasal 201 ayat (7) menyatakan bahwa, “Pemungutan suara nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027”. Gagasan tersebut kemudian diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 201 ayat (8) berbunyi, “Pemungutan suara nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.
Artinya, dari sisi waktu, ada perubahan jadwal Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional yang sebelumnya di tahun 2027, menjadi tahun 2024. Oleh karena itu, penundaan Pemilihan Kepala Daerah yang semula pada bulan September 2020 ini, sudah menjadi kebiasaan hukum ketatanegaraan Indonesia. Hanya saja, yang patut menjadi perhatian bersama adalah dampak dari penundaan serta opsi hukum yang dapat diambil oleh pembentuk Undang-Undang.
Secara yuridis-normatif, ada beberapa konsekuensi penundaan Pemilihan Kepala Daerah, konsekuensi itu diantaranya: Pertama, pemunduran Pemilihan Kepala Daerah serentak di atas tahun 2020, akan berdampak pada masa jabatan kepala daerah terpilih pada pemilu tersebut. Hal ini dikarenakan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, secara implisit telah dinyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional akan diselenggarakan di tahun 2024. Artinya, jika seorang kepala daerah dilantik pada tahun 2021, maka praktis masa jabatannya hingga tahun 2024 hanya 2,5 tahun, padahal masa jabatan kepala daerah sebagaimana diatur di dalam UU adalah 5 tahun. Sementara itu, Pemilihan Kepala Daerah serentak nasional selanjutnya baru akan dilaksanakan pada tahun 2029 mendatang, sehingga tidak mungkin juga untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah tersebut hingga tahun 2029 karena akan terlalu lama.
Kedua, ada banyak kepala daerah yang sudah akan berakhir masa jabatannya di tahun 2020 ini, maka praktis daerah tersebut akan dipimpin oleh Pejabat Sementara yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri, hingga kepala daerah terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah selanjutnya dilantik. Memang tidak ada yang salah jika daerah dipimpin oleh Pejabat Sementara, namun pilihan ini bukan tanpa resiko sama sekali. Selain berdampak pada keberlansungan penyelenggaraan otonomi di daerah yang bersangkutan, penunjukkan Pejabat Sementara ini juga seringkali sarat dengan kepentingan politik. Baik kepentingan yang menunjuknya, maupun dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Pejabat Sementara.
Beberapa waktu lalu, Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP telah menyepakati bahwa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah akan diundur sampai dengan tanggal 9 Desember 2020. Artinya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah hanya diundur selama kurang dari 3 bulan. Dalam keterangannya, Ketua Komisi II DPR RI menyatakan keputusan ini diambil dengan asumsi dasar bahwa pandemi covid-19 akan berakhir pada 29 Mei mendatang.
Pilihan keputusan ini tentu saja memiliki banyak resiko, mulai dari aspek anggaran yang dapat diduga sangat terbatas karena fokus penggunaan anggaran saat ini adalah terhadap penanganan virus. Sehingga dapat dipastikan ketersediaan anggaran baik APBN maupun ABPD akan sulit dipenuhi. Sisi lain adalah efektivitas penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah itu sendiri. Bagaimana mungkin Bawaslu dan DKPP misalnya, dapat efektif melakukan pengawasan Pemilihan ditengah situasi social distancing seperti saat ini, ini akan berdampak pada legitimasi hasil Pemilihan. Belum lagi, berpolitik di tengah rakyat sedang mengalami kesulitan akut, tidaklah etis.
Dari kaca mata ini, rasanya sulit memprediksi Pemilihan Kepala Daerah dapat terlaksana pada bulan Desember nanti. Sekalipun “dipaksakan” tetap terlaksana, akan muncul banyak hambatan melintang. Secara pribadi, penulis berpendapat bahwa sebaiknya saat ini pemerintah pusat dan daerah fokus menangani pandemi covid-19, jika keadaan sudah membaik, rutinitas politik tahunan, dapat kembali dibicarakan.