Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta)
Rumusan Pasal 3 UU Tipikor yang memukul rata tindakan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara adalah termasuk tindak pidana korupsi, telah memumculkan banyak persoalan. Pasal ini digunakan untuk menjerat beberapa pejabat pemerintahan yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sekalipun tidak ada kesalah pidana yang dilakukan oleh pejabat tersebut, artinya yang terjadi adalah murni pelanggaran administrasi. Di sini tampak persinggungan yang begitu erat antara hukum administrasi dan hukum pidana, sekalipun sesungguhnya keduanya dapat dibedakan. Namun, bukan tidak mungkin kesalahan administrasi, tetapi dituntut dengan kesalah pidana, telah ada banyak kasus yang menunjukkan realitas ini.
Sejatinya diskursus mengenai wewenang atau kewenangan adalah domain hukum administrasi dan/atau hukum tata negara. Kewenangan (bevoegdheden) melekat pada jabatan (het ambt). Tanpa jabatan tidak bakal ada kewenangan. Jabatan (het ambt) adalah badan (orgaan) hukum publik, merupakan sumber keberadaan kewenangan. Dalam mengfungsikan kewenangan yang melekat padanya, jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon), lazim disebut pejabat (ambtsdrager) atau pejabat pemerintahan. Badan Pemerintahan adalah wujud badan pemerintahan (bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam kementerian, instansi/jawatan yang dalam memfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh pejabat (ambtsdrager).
Dalam mengatasi sengketa normatif (normatief geschil) antar cabang hukum dalam upaya pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud di atas perlu dipedomani apa yang oleh Romli Atmasasmita, kemukakan bahwa kini berlangsung perubahan arah politik hukum terkait penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dimana upaya pencegahan korupsi didudukkan sama pentingnya dengan penindakan korupsi. Oleh karena itu, pendekatan yang selama ini digunakan dalam UU Pemberantasan Tipikor, yang menjadikan tindakan represif sebagai “primum remedium” harus ditinjau ulang. Hukum pidana harus dikembalikan kepada khitahnya sebagai senjata pamungkas atau sebagai upaya terakhir yang harus dipergunakan dalam upaya penegakan hukum sesuai dengan asas “ultimum remedium”.
Mekanisme Baru Penyelesaian Penyalahgunaan Wewenang
Jika sebelumnya, penyalahgunaan wewenang adalah domain Pengadilan Negeri menurut rezim UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka sejak disahkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menjadi domain Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam UU No. 30 Tahun 2014, penyalahgunaan wewenang merupakan genus yang terdiri dari tiga spesies yang berbeda-beda yakni: (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; (3) bertindak sewenang-wenang. UU Administrasi Pemerintahan tidak menjelaskan pengertian penyalahgunaan wewenang, ia hanya mengkualifikasi ke tiga jenis spesies penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebut di atas. Adapun akibat hukum penyalahgunaan wewenang yang diperiksa oleh PTUN adalah kesalahan yang berakibat pada kerugian keuangan negara.
Namun, pengujian tindakan/keputusan penyalahgunaan wewenang yang menjadi domain PTUN, bukanlah tindakan/keputusan pejabat negara yang mengeluarkan, melainkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintahan. Pasal 20 ayat (1) UU Adpem menyebutkan, “Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintahan. Jika hasil pengawasan APIP menyatakan terdapat kesalahan administratif semata, maka ditindaklanjuti oleh pejabat pemerintahan dengan penyempurnaan administrasi. Namun jika hasil pengawasan APIP menyatakan terdapat kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara, maka dilakukan pengembalian keuangan negara paling lama 10 hari kerja. Atas keputusan APIP inilah maka Pejabat/Badan Administrasi yang mengeluarkan tindakan/keputusan dapat mengajujukan permohonan ke PTUN untuk menguji keputusan APIP tersebut. Maka kesimpulannya: 1) yang dapat menjadi pemohon adalah pejabat/badan administrasi; 2) objek perkara adalah hasil pengawasan APIP; 3) penyalahgunaan wewenang yang dimaksud harus merugikan keuangan negara. Dengan kata lain, jika ada masyarakat yang mengetahui adanya penyalahgunaan wewenang baik yang merugikan keuangan negara maupun tidak, tidak dapat langsung dimohonkan ke PTUN, melainkan harus melewati APIP terlebih dahulu. Selain itu, yang dapat mengajukan permohonan ke PTUN hanyalah pejabat/badan administrasi pemerintahan.
Beberapa Persoalan
Atas dasar ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, maka muncul beberapa persoalan baru yang berdampak pada efektivitas penegakan hukum penyalahgunaan wewenang, yaitu:
Pertama, efektivitas pengawasan oleh APIP. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, APIP adalah terdiri atas: a. BPKP; b. Inspektorat Jenderal atau dengan nama lain; c. Inspektorat Provinsi; dan d. Inspektorat Kabupaten/Kota. Masalah besar, klasik, dan akut pengawasan pemerintahan di Indonesia adalah kinerja APIP yang dinilai belum optimal. Dari aspek keorganisasian, APIP merupakan lembaga internal pemerintah yang juga melakukan fungsi pembinaan, selain itu, jabatan pimpinan APIP juga bergantung pada Pejabat Pemerintahan, sehingga akan sangat sulit mengharapkan APIP dapat menjalankan kewenangannya dengan baik. Terlebih lagi Inspektorat-inspektorat yang berada di daerah-daerah, jika terlalu berani berhadap-hadapan dengan kepala daerah, mereka akan terancam dipindah tugaskan ditempat yang lain. Belum lagi, hasil pengawasan Inspektorat yang kerap tidak ditindaklanjuti oleh Pejabat/Badan Administrasi Pemerintahan. Kondisi tersebut diperparah pula aspek anggaran, karena APIP sangat menggantungkan anggarannya kepada pemerintah. Maka, dalam konteks ini, sulit rasanya APIP memiliki “keberanian” untuk menyatakan suatu tindakan/keputusan merupakan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Kedua, persinggungan hukum, bagaimana jika suatu ketika laporan hasil pengawasan APIP menyatakan bahwa Pejabat/Badan Administrasi Pemerintahan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada kerugian keuangan negara. Apakah perkara itu masih boleh dibawa ke proses pidana, dan jika boleh bagaimana posisi APIP, apakah mereka akan menjadi pihak “ketiga” yang membantu Pejabat/Badan tersebut di persidangan? Mahkamah Agung memang telah mengeluarkan No. 4 Tahun 2015, namun belum cukup lengkap menjawab persoalan ini.
