Banyak telaah tentang teori-teori kapitalisme kontemporer melihat Neoliberalisme pada prinsipnya sebagai wujud dari perkembangan baru dari praktik kapitalisme lanjut. Fase ini berkembang pesat ketika terjadi kegagalan atas penerapan ekonomi neoklasik yang masih percaya mesin intervensi “regulasi pemerintah” Sebagian memberikan memberikan titik tekan pada ”regulasi pemerintah” untuk membedakan dengan “entitas negara” dan sekaligus untuk menghidari kekeliruan asumsi umum bahwa dengan praktik neoliberalisme maka peran negara akan melenyap dengan sendirinya. Negara sekiranya justru pada tahap perkembangan tertentu justru tetap eksis dan mengambil langkah yang lebih meningkat dalam sistem neoliberalisme. Teori melenyapnya negara dalam sistem neoliberilme justru banyak hal dipakai oleh kaum imperialisme untuk mendorong keyakinan ideologis bahwa negara memang sangat penting bagi perlindungan rakyat sehingga pasar tidak harus dilepas secara bebas. Bagi penggagas neoliberalisme pasar seyogyanya harus dikeluarkan dari jerat regulasi apapun yang menghambat dinamika pasar. Melalui tokohnya August von Hayek dan Milton Friedman mereka menentang apa yang digagas oleh ekonom klasik seperti John M. Keynes yang mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk mengontrol seluruh aktifitas kehidupan ekonomi. Bagi Friedman, kebijakan semacam ini justu akan membangkrutkan masyarat. Barangkali alur argumentasi secara umum terhadap problem neoliberalisme tertangkap demikian. Penting kiranya untuk lebih jauh membaca dalil-dalil justifikasi dan juga diskursus yang dibawa neoliberalisme beserta alat angkutnya sehingga sebagai sebuah ide, sistem ini menjadi diterima secara umum.
Books Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalisme karya David Haevey yang diterbitkan Penerbit Resist ini merupakan sekian khasanah buku yang cukup kritis untuk membaca pola transformasi dan berbagai selubung tersembunyi dari motif kapiralisme muktahir. Tahun 1970-an sianggap sebagai lompatan konfigurasu ekonomi politik sangat penting. Neoliberalisme dianggap sebuah resep yang ampuh untuk membangun sistem ekonomi politik baru yang bisa keluar dari situasi krisis. Karya David Harvey ini berusaha mengisi kekosongon telaah kajian tentang neoliberalisme yang cenderung masih bersifat umum. David Harvey meyakini bahwa sangat penting kiranya untuk membaca keseluruhan situasi dan polemik dan dalam istilah harvey disebut sebagai “drama ekonomi politik” yang melatarbekangi mengapa gagasan dan ide neoliberalisme cukup berkembang pesat.
Buku ini secara eksplisit mau mengingatkan bahwa tidak mudah memetakan karakter secara umum dari kondisi negara dalam era neoliberalisme. Menurut Harvey ada dua alasan penting, pertama, karena dalam konteks praktik, banyak negara menyimpang dari derskripsi teorinya dan kedua, adanya dinamika neoliberalisme yang sedemikian rupa sehingga memaksa berbagai bentuk adaptasi yang sangat bervariasi dari negara satu dengan negara yang lain. Oleh Harvey menyebutnya sebagai bersifat “transisional” atau “tidak stabil”. Di antara ketegangan-ketegangan itu kemudian terlihat sebuah kondisi disparitas yang semakin nampak bahwa neoliberalisme dalam dirinya menghadirkan banyak paradoks dan kontradiksi. Negara dalam imaji mendasar neoliberal, diharapkan berdiri hanya sebagai “penonton”. Perkembangan waktu, harapan ini justru terkesan hanya menjadi kedok dari kepentingan yang lebih besar. Negara justru semakin memantapkan peranan intervensionisnya sebagai institusi yang mempunyai legitimasi untuk mengatur dan mencipta regulasi. Kedua, neoliberalisme banyak kasus justru lebih menampakan wajah otoritarianismenya ketimbang janji kebebasan yang didengungkan. Kekuasaan korporasi justru banyak hal merampas kebebasan individu yang dijanjikan dalam retorika kaum neoliberal. Ketiga, integritas ekonomi yang dijanjikan sebagai cara untuk pengaturan pasar justru sering membuka peluang spekulasi-spekulasi tidak bertanggungjawab, skandal keuangan dan instabilitas sistem ekonomi yang kronis. Keempat, iklim kompetisi yang menjadi prasyarat pasar bebas justru makin menyuburkan konsolidasi kekuatan oligopolistik, monopoli dan kekuasaan korporasi yang sentralistik. Kelima, kredo untuk kebebasan justru menyebabkan banyak destruksi solidaritas sosial.
Diskursif dan Daya Pikat Neoliberalisme
Bagaimana kita bisa menelisik jauh untuk membongkar ruang kosong yang disebut Harvey senbagai “disparitas yang ideal dan yang real” adalah dengan membongkar dan mematahkan keseluruhan konsepsi neoliberal dengan kenyataan fakta-fakta yang berjalan. Penting kiranya memetanarasikan segala konsep dan pengertian yang terkandung dalam diskursus neoliberalisme. Apa yang cukup harus dilihat dari seluruh perkembangan itu adalah bahwa seluruh konsepsi dan perspektif yang kemudian berkembang dan diterima sebagai keyakinan umum adalah buah campur tangan dari berbagai kekuatan “aparatus konseptual”. Daya pikat ide apapun sangat dipengaruhi bagaimana “aparatus konseptual” ini bekerja dengan sangat efektifnya. Apa yang dibawa seakan sudah menjadi realitas yang harus diterima. Bab I cukup memaparkan bagaimana sebuah gagasan seperti mantra “kebebasan” dan “martabat manusia” dijadikan nilai ideal universal. Dengan mantra kebebasan ini pula yang melahirkan berbagai gerakan-gerakan politik seperti di beberapa kawasan seperti di Eropa Timur, Amerika Latin, Uni Soviet atau juga reformasi politik Cina. Atas nama kebebaan inipula yang menjadi ikon propaganda Anerika untuk mengalahkan beberapa rival kepentingan politik. Kekuasaan Irak di bawah Sadam Husein tumbang atas nama “kebebasan”. Di balik stas nama kebebasan pula pasca tumbangnya rezim Sadam, Paul Bremer, Kepala Sementara Koalisi di Irak mengesahkan berbagai keputusan perubahan di sekitar pengaturan politik dan ekonomi. Irak pasca Sadam Husein lebih menjadi Irak yang sudah sangat liberal. Sistem ekonomi politik didorong mengikuti pola dan sistem neoliberal. Intervensi penguasaan asing menjadi sangat terbuka. Kebijakan yang berubah drastis itu meliputi privatisasi menyeluruh atas perusahaan-perusahaan publik, hak-hak kepemilikan secara penuh atas bisnis-bisnis Irak oleh perusahaan-perusahaan asing, repratiasi secara total atas laba asing, dan pembukaan seluas-luasnya terhadap masuknya modal asing. Lebih parah lagi, kebiakan itu berlaku untuk segala bidang baik pelayanan publik, media, manufaktur, jasa, transportasi, keuangan dan konstruksi.
Apa relasi keseluruhan kebijakan liberalisasi pasar di Irak dengan mantra kebebasan? Propaganda dominan barat menilai bahwa kebebasan individu sebagai ciri dasar dari martabat mansuia dengan sendirinya akan terwujud dengan penghilangan batas aturan politik ekonomi. Tentu premis ini bila dibaca lebih sekedar menjadi jargon ketimbang realitas yang dihadapi Irak sekarang. Kebebasan di Irak menjadi wajah Tirani baru. Yang hadir bukannya kebebasan yang dibayangkan. Liberalisasi pasar justru memahat peradan baru bagi Irak yakni politik represi dan dominasi. Di balik slohan kebebasan tersembunyi kepentingan penaklukan atas negeri lain. Inilah buah dari transformasi Neoliberalisme. Nasib serupa pernah juga dialami oleh berbagai negara seperti Chili, Argentina, Brasil, Mexico dan negara-negara Asia Tenggara yang begitu gampangnya mengadopsi kebijakan ini. Bahkan jika dicermati, langkah pengadopsian keseluruhan kebijakan neoliberal ini banyak dipraktikan dengan berbagai tekanan dan perebutan kekuasaan secara paksa. Eksperimen Neoliberalisme di Chili adalah wujud vulgar dari liberalisasi dengan paksa dan brutal yang banyak melahirkan keuntungan-keuntungan revivalisasi akumulasi kapital negara-negara Barat. Pembangunan konsep utopianisme neoliberalisme menurut David Harvey hanyalah sebagai suatu sistem justifikasi dan legitimasi terhadap langkah-langkah yang diambil untuk pemulihan kekuasan elite ekonomi semata.
Membaca Mesin Angkut Kapitalisme
Yang terjadi setelah neoliberalisme menjadi mazhab dominan dalam pola ekonomi politik dunia adalah terbentuknya aktor-aktor baru yang merupakan badan berpengaruh pada perjalanan neoliberalisme. Beberapa aktor penting yang bisa disebutkan disini adalah : pertama, adalah World Trade Organization (WTO) yang didirikan pada tahun 1994 dan merupakan kelanjutan dari GATT (General Agreement Tariffs and Trade) Organisasi perdagangan ini saat ini lebih beranggotakan 144 negara termasuk Indonesia. Di sini diatur berbagai aturan peraturan perdagangan baik barang, jasa maupun HAKI terkait perdagangan. Tentu saja proses keputusan dalam WTO selalu dimenangkan oleh kepentingan negara-negara maju sehingga produk dari keputusan WTO akhirnya bukannya memperbaiki ekonomi dunia berkembag melainkan terjebak mereka dalam hisapan imperialisme barat.
Aktor kedua adalah lembaga bantuan keuangan asing seperti IMF ataupun ADB maupun Bank Dunia yang nyata-nyata mereka juga memberi pintu terbuka pada keterpurukan Indonesia melalui politik jebakan hutang luar negerinya. Dalam memberikan terapi pada negara-negara berkembang biasanya selalu disertakan syarat-syarat ketat dan perubahan fundamental seperti yang nampak pada praktek politik deregulasi dan privatisasi. Apa yang selama ini disebutkan sebagai kebijakan Penyelesaian Struktural (Structural Adjusment Program, SAP) hanyalah berarti bahwa seluruh kebijakan yang tertuang dalam syarat-syarat hutang luar negeri harus diorientasikan pada pemberian pintu seluas-luasnya kepentingan modal asing untuk menguasai Indonesia. ketiga, adalah Lembaga-lembaga Internasional seperti PBB, dan seluruh lembaga pemberi donor dalam pembangunan Indonesia. Politik Hak Veto bisa merupakan bukti bagaimana lembaga dunia tersebut jatuh dalam kaki kekuasaan negara maju. Perang Imperialisme negara maju seperti yang terjadi di Irak, Afganistan maupun intervensi pada negara-negara penentang lainnya seperti Korea Utara dan beberapa di negara Amerika Latin merupakan fakta bahwa PBB hanyalah lembaga bentukan dalam kepentingan Imperialisme Barat. Keempat, adalah perusahaan-perusahaan multinasional (TNC dan MNC) yang saat ini banyak berebut untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga dan juga menetapkan sebagai pasar konsumsi produktif bagai akumulasi keuntungan. Kelima, adalah lembaga-lembaga non pemerintah internasional maupun nasional (NGO) yang kerap kali hanya menjadi tangan-tangan panjang dari kepentingan terselubung imperialisme. Apa yang dilontarkan James Petras yang mendudukan NGO sebagai agen penting neoliberalisme merupakan kritik tajam pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang banyak justru tenggelam dalam mainstream kepentingan barat yang sadar dan tidak sadar justru meredam kemungkinan perlawanan-perlawanan rakyat yang saat ini mulai geram.
Dari seluruh aktor-aktor yang dipetakan di atas tidak menutup kemungkinan adanya banyak aktor yang langsung maupun tidak langsung menjadi pelaku dari kerja-kerja imperialisme. Tentu saja dalam sasaran perubahan aktor-aktor ini justru sangat dekat dan menjadi kontradiksi pokok yang harus segera diselesaikan. Aktor terpenting dari semua itu adalah negara dengan segala aparatus represif maupuin ideologisnya. Meminjam istilah Louis Althuser “aparatus represif” ini terdiri dari tentara, polisi dan seluruh aparatur birokrasi sedanglan “aparatus ideologis” terbentang disana adalah lembaga-lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum politik, serikat buruh, komunikasi dan budaya. Diakui hampir sebagian besar lembaga-lembaga tersebut tidak berdaya berada dalam cengkeraman imperialisme barat dan bahkan secara terang-terangan masuk menjadi pewarta bagi berjalan sistem pasar imperialisme.
Prinsip pokok gagasan Neoliberalisme terangkum dalam gagasannya untuk mengoptimalkan terus menerus pertumbuhan ekonomi. Bagi prinsip ini, proses laju ekonomi akan semakin meningkat dan berkembang secara pesat jika dan hanya jikalau lintas barang jasa dan modal tidak terhambat oleh regulasi apapun. Pasar bebas mensyaratkan tiadanya kontrol dan aturan-aturan yang memungkinkan pasar tidak bisa berjalan secara progresif. Gagasan neoliberalisme sangat menentang keras campur tangan dan intervensi birokrasi negara yang mengancam percepatan pasar. Di markas WTO, putusan-putusan dibuat atas nama “pasar bebas” yang membatasi kemampuan negara untuk mengawal kepentingan-kepentingan rakyatnya, bahkan pada kasus-kasus ketika negara berkeinginan untuk melakukan sekalipun.
Lembaga-lembaga internasional seperti WTO, Bank Dunia dan IMF telah memaksakan syarat bahwa mata uang negeri bersangkutan mesti dibuat konvertibel dan negeri itu membuka diri bagi gerakan-gerakan kapital internasional. Tiada lagi yang mengikat negara-negara dunia secara lebih bersatu daripada jaringan elektronik mesin-mesin uang global dari bank-bank, perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana investasi. Pada titik inilah kekuatan kapitalisme pasar bisa mengukuhkan dirinya untuk membangun hegemoninya.
Dalam dunia yang kian didominasi oleh sistem kapitalis internasional, semakin banyak keputusan yang berada di luar kendali langsung sebuah negara. Badan-badan negara yang sangat penting seperti kementrian keuangan, bank sentral. dan kantor perdana menteri atau presiden, menjadi terkait satu sama lain dan terkait pada lembaga internasional seperti IMF. Akibatnya, negara dipaksa untuk mengadopsi kebijakan yang merefleksikan kepentingan internasional dalam porsi yang sama besar dengan porsi kepentingan domestik. Padahal jika mengingat prasyarat pasar sendiri seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith yang dianggap sebagai peletak dasar dari ekonomi pasar liberal, negara masih menjadi fungsi amat penting dalam mengatur berjalannya pasar.
Menengok prinsip-prinsip kunci yang digagas oleh Adam Smith sendiri kita akan ditunjukkan oleh adanya keterputusan antara ide tentang pasar bebas yang semestinya dengan kenyataan yang kongkrit. Prinsip ekonomi Adam Smith tertuang sangat jelas dalam 5 prasyarat yang ia lontarkan yakni : Pertama, Pembeli dan penjual harus amat kecil untuk mempengaruhi harga pasar; Kedua, Informasi yang lengkap harus tersedia bagi semua orang dan tidak ada rahasia perdagangan; Ketiga, Penjual harus sepenuhnya menanggung ongkos produksi yang mereka jual dan menjelaskan dalam harga jual; Keempat, Modal investasi harus tetap berada dalam tapal batas nasional, sedangkan perdagangan antar negara harus diseimbangkan;Kelima, Tabungan harus diinvestasikan dalam pembentukan modal yang produktif.
Dalam pandangan dunia neo-liberal, karena pasar harus mendiktekan peraturannya pada masyarakat dan bukan sebaliknya, maka demokrasi adalah beban. Tugas lembaga-lembaga internasional ini bukan untuk melicinkan jalan dan menulis peraturan yang tepat bagi berfungsinya korporasi transnasional dan para investor keuangan secara optimum. Maka setiap usaha untuk menghalangi dan mendikte berjalannya pasar harus segera dipangkas. Dalih ini tentu tidak serta merta dijalankan dengan vulgar karena membawa dampak resistensi negara yang cukup kuat.
Neoliberalisme : Jalan Hegemoni Baru
Bagaimana ide Neoliberal ini tetap dikawal untuk menjadi pandangan kolektif yang permanen? Meminjam analisis Gransci, Harvey menekankan pentingnya membaca bagaiaman sebuah ide kemudian diyakini menjadi pikiran kolektif. Kecerdasan membawa ini dalam kesadaran kultural sangat penting dalam kerja neoliberal. Segala diskursus kultural dimobilisasi untuk membangun kepercayaan kolektif bahwa sesuatu ide harus diterima sebagai realitas yang benar. Slogan-slogan politik diciptakan untuk menyamarkan stratego-strategi yang ada dibalik retorika tanpa isi. Menurut Harvey banyak saluran dan alat angkut yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Seperti yang pernah dilontarkan oleh Althuser sebagai ”Aparatus Ideologis”, alat angkut itu terbentang pada korporasi-korporasi, media, universitas-universitas, sekolah0sekolah, lembaga keagamaan dan asosiasi-asosiasi profesi.Dengan berbagai kekuatan diskursus yang dibawa mesin-mesin Neoliberal maka tercipta iklim opini yang berpandangan bahwa neoliberalisme adalah satu-satunya menu tawaran bagi kemajuan ekonomi. Tidak ada alternatif di luar itu. Penguasaan opini akan semakin masif dan terkonsolidasi berkat penguasaan kekuasaan negara.
Transformasi ekonomi ini sangat penting untuk dibaca sebagai kenyataan yang cukup memprihatinkan bagi negeri-negeri berkembang. Kontrol pemerintah sudah tidak lagi bisa diharapkan. Justru ’negara’ kembali kepada peran primodialnya sebagai entitas yang selalu berpihak pada kekuatan korporasi besar daripada masyarakat. Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberlisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan.
Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagian besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yang amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya.
Berkembangnya berbagai kemampuan teknologi media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi perdagangan yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang ditampilkan negara-negara maju. John B. Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi idiologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara penyembunyian, pengingkaran dan pengkaburan makna. Negara-negara barat berkepentingan untuk membuat “dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil.
Kekuatan-kekuatan penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar di beberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme. Sebelum kita memaparkan berbagai dalil dan wacana ilusif mereka tentu beberapa kekuatan penopang itu bisa penting untuk diketahui. Pasca Perang Dunia II, di Inggris telah hadir dua lembaga strategis pencipta pengetahuan yang sangat menopang kebijakan Neoliberalisme : The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Center for Policy Studies (CPS). Pada perkembangan lembaga ini memang menjadi bagian sangat penting untuk memberikan landasan pemikiran dan sekaligus legitimasi-legitimasi teoritik terhadap setiap kebijakan yang dilakukan negara. Tugas dan perannya menjadi sangat sentral untuk menyebarkan gagasan-gagasan penting politik ekonomi Neoliberalisme. IEA dalam praktiknya banyak menerbitkan gagasan-gagasan ini melalui riset dan sekaligus pemberlakuannya di kurikulum pendidikan di Inggris. Gagasan-gagasan yang disebarkan IEA terutama menyangkut kebijakan-kebijakan pasar bebas dan hasilnya cukup efektif untuk melancarkan berbagai perubahan seperti ‘deregulasi’
Di Amerika Serikat juga tercatat lembaga think tank yang cukup aktif menyebarkan gagasan neoliberalisme yakni : Pertama, ”The American Enterprise Intitute” (AEI), didirikan tahun 1943 oleh kelompok pengusaha yang anti-New Deal; Kedua, ”The Heritage Foundation”, sebuah lembaga yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Ronald Reagen didirikan tahun 1973; Ketiga, ”Hoover Intitutions on War, Revolution and Peace”, sebuah lembaga yang didirikan di Universitas Stanford, di California pada tahun 1919 yang bergerak dalam kajian konsumerisme; Keempat, ”The Cato Intitute”, sebuah lembaga khusus yang didirikan di Washington untuk urusan advokasi pemerintah terutama persoalan program privatisasi; Kelima, ”The Manhattan Intitute for Policy Research” yang didirikan pada tahun 1978 untuk tujuan kritik terhadap program redistribusi pendapatan pemerintah
Praktik membangun dominasi wacana ini juga pernah merayap pada program program pembangunan yang terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun wacana pembangunan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara maju dapat berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Kritik terhadap modus ini pernah menjadi keprihatinan banyak masyarakat terutama di negara-negara berkembang. James Petras pernah mengungkapnya dengan cukup kritis bahwa wacana-wacana yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerap hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propagana atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial.
Dimana Meletakan Alternatif Gerakan ?
Keragaman atas kondisi objektif dan transisi negara dalam cengkeraman neoliberalisme juga berpengaruh terhadap munculnya berbagai varian gerakan sosial. Pilihan-pilihan berbeda ini satu sisi membuka iklim demokratisasi atas jawaban terhadap hadirnya noliberalisme tetapi sisi yang lein juga menyebabkan berbagai penyatuan aktifitas gerakan sering tersendat. Meskipun tidak cukup detail dalam membaca kemungkinan gerakan alternatif semacam apa yang perlu dibangun untuk menghadapi neoliberalisme berkaca dalam dilema keragaman gerakan sosial ini, David Harvey memberikan dua catatankecenderungan penting yang selama ini bisa dijadikan model pilihan, Pertama, terlibat dan ikut serta dalam gerakan-gerakan oposisi dan membangun program perjuangan oposisi yang berjangka luas. Kedua, melakukan riset-riset teoritis dan praktis mengenai kondisi saat ini dan berusaha menemukan kemungkinan alternatif-alternatif yang bisa bisa dikembangkan. Tentu dua hal pendekatan gerakan ini tidaklah harus dibaca terpisah berdiri sendiri. Penting kiranya mengambil keduanya sebagai cara untuk mengembangkan kualitas gerakan. Apa yang menjadi premis penting dari konsekuensi tersebarnya berbagai reaksi gerakan yang lebih pulral adalah bukan untuk menuntut dan memaksa kita menyatukan dalam pola yang seragam tetapi menemukan hubungan-hubungan organisasi dari gerakan-gerakan yang beagam itu dalam roh perlawanan yang sama. Mungkin premis jawaban juga masih sangat mengambang dan oleh karenanya catatan terakhir yang ditulis Harvey dalam buku ini amat penting disimak: Semakin Neoliberalisme difahami sebagai retorika utopian yang gagal dan tidak lebih sebagai ”topeng” untuk menutup-nutupi proyek kembali kepentingan kelas yang berkuasa, semakin kuat basis bagi munculnya kembali gerakan-gerakan massa yang menyuarakan tuntutan-tuntutan akan egalitarianisme politik dan keadilan ekonomi, perdagangan yang adil, dan jaminan perlindungan ekonomi yang lebih besar.