Komisi II DPR RI bersama dengan pemerintah dan KPU telah menetapkan penundaan jadwal penyelenggaraan pesta demokrasi daerah menjadi bulan Desember 2020 mendatang. Keputusan bersama ini lalu direspon oleh Presiden Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. Perppu ini yang kemudian menjadi payung hukum penundaan pemilukada, karena sebelumnya, belum ada norma yang dapat menjadi payung hukum penundaan tersebut. Tulisan ini, mencoba untuk menganalisis lebih jauh salah satu pasal dalam Perppu ini, yaitu penetapan jadwal penyelenggaraan pemilukada pada bulan Desember 2020. Secara substansial, tentu keberadaan norma yang sudah sangat konkret dan jelas ini menyalahi tata aturan perundang-undangan di Indonesia, karena sejatinya sebuah norma dalam undang-undang termasuk Perppu haruslah bersifat abstrak dan umum. Namun di luar itu, ada masalah lain yang harus menjadi pertimbangan kita bersama menyikapi ketentuan ini, yaitu tantangan yang akan dihadapi jika pemilukada tetap diselenggarakan pada bulan Desember mendatang.
KPU di Masa Pandemi
Pihak yang akan sangat terdampak dengan pelaksanaan pemilukada adalah para penyelenggara pemilukada, khususnya KPU. Jika pemilukada diselenggarakan pada bulan Desember, maka sejak bulan Juli proses atau tahapan pemilukada sudah harus dimulai. Mulai dari penjaringan bakal calon, pencalonan, penetapan calon, gugatan, kampanye, dan lain sebagainya. Pertama, jika melihat situasi dan kondisi saat ini, maka hampir dapat dipastikan bahwa pada bulan Juli mendatang, pandemi covid-19 ini belum akan benar-benar hilang dari Indonesia. Pemerintah sendiri dalam laporan terakhirnya memperkirakan penyebaran virus baru terselesaikan pada bulan September 2020, dengan asumsi kebijakan PSBB yang dilakukan saat ini berhasil. Dengan demikian ini akan berdampak pada kinerja KPU dan penyelenggara pemilu yang lainnya. Bekerja dengan pekerjaan teknis seperti KPU, akan sangat beresiko di tengah pandemi saat ini. Optimalisasi kinerja penyelenggara pemilukada ini penting karena ia akan menjadi legitimasi berhasil atau tidaknya dan demokratis atau tidaknya pemilukada.
Kedua, akan ada masalah yang sangat besar terkait dengan data. Saat ini, sebagian besar penduduk telah berpindah dari suatu daerah ke daerah yang lain, sehingga ada pengurangan penduduk yang sangat besar pada satu daerah, sebaliknya ada penambahan penduduk yang sangat signifikan pula pada daerah yang lain. Dalam negara yang mengkategorikan memilih sebagai hak seperti Indonesia, besar dan kecilnya kuantitas pemilih dalam pemilu memang tidak mempengaruhi sah atau tidaknya suatu pemilu. Namun, karena memilih adalah hak konstitusional, tetap saja KPU dan pemerintah wajib menjamin pemenuhannya. Dengan kata lain, jika ada warga negara yang tidak memiliki hak pilih, dan pemerintah membiarkannya begitu saja, maka telah terjadi pelanggaran hak konstitusional. Artinya, mobilitas penduduk yang tak terkendali pada masa pandemi ini, akan menyulitkan KPU dalam mendata daftar pemilih sementara melakukan pandataan ulang, akan sangat sulit dilakukan.
Ketiga, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah terkait dengan anggaran. Selama ini, politik anggaran pemilukada selalu saja menimbulkan masalah, ada tolak-tarik antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga anggaran biasanya baru tersedia menjelang batas akhir penyelenggaraan pemilukada. Tahapan pemilukada yang sudah harus dimulai sejak bulan Juli mendatang, tentu saja sudah membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, terlebih pada tahun 2020 ini akan diselenggarakan pemilukada serentak di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal pada saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah sedang memfokuskan anggaran pada penanganan covid-19 dan ini rasional. Sehingga, sangat kecil kemungkinan akan ada sisa anggaran yang cukup untuk tetap menyelenggarakan pemilukada di tahun 2020 ini.
Penundaan Pemilukada
Tiga masalah diatas hanyalah sekelumit tantangan kecil yang dihadapi oleh KPU, masih banyak masalah lain yang jauh lebih rumit dan kompleks. Oleh karena itu, pilihan rasional saat ini adalah segera memutuskan penundaan pemilukada, agar seluruh lapisan pemerintah dapat berfokus pada penanganan covid-19. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan mekanisme yang cukup bebas untuk menunda proses penyelenggaraan pemilukada, sehingga tidak ada lagi problem yuridis untuk mengambil kebijakan penundaan. Sebaiknya, penundaan Pemilukada ini tidak ditentukan dengan batas waktu yang pasti, melainkan menunggu sampai pemerintah berhasil menangani pandemi covid-19. Setelah pandemi covid-19 berhasil diatasi, maka pemerintah, KPU dan DPR dapat kembali membahas dan menentukan penyelenggaraan pemilukada. Pelihan kebijakan ini tentu saja bukan tanpa masalah, namun dilihat dari berbagai sisi, masalah yang akan timbul jauh lebih kecil dari pada tetap memaksakan pemilukada di bulan Desember mendatang.