KONTROVERSI PERPUU

Bulan lalu, Presiden Republik Indonesia Jokowidodo mengeluarkan beberapa paket kebijakan dalam menangani pandemi Covid-19. Salah satu dari dari paket kebijakan itu adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). Perppu merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang, yang dikeluarkan oleh presiden dalam suatu kondisi tertentu. Ia bersifat istimewa, sebagai salah satu ciri sistem presidensiil, di mana norma peraturan yang harusnya dibuat bersama dengan DPR, namun hanya ditetapkan oleh presiden.

Bagi pemerintah, Perppu ini dibutuhkan untuk menyelamatkan rakyat dari dampak yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Dalam situasi saat ini, rakyat membutuhkan berbagai macam bantuan, sementara sebagian besar dari mereka kehilangan pekerjaannya karena banyaknya perusahaan dan usaha yang harus gulung tikar. Untuk membantu rakyat dari berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 itu, pemerintah membutuhkan dana. Misalnya untuk biaya pengobatan di Rumah Sakit, pembelian obat dan berbagai alat kesehatan, pemberian bansos dalam bentuk sembako maupun bantuan lansung tunai, stimulus ekonomi, pengurangan pajak, dan lain sebagainya. Dalam konteks inilah Perppu tersebut lahir, karena APBN yang dibuat pada tahun lalu tidak mendeteksi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 ini.

Ada banyak ketentuan substansial dan prosedural yang memunculkan kontroversi dalam Perppu ini, misalnya keberadaan Perppu yang dinilai tidak cukup beralasan, karena peraturan perundang-undangan yang ada masih cukup relevan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Ini memang perdebatan klasik, dan harus diakui sangat bersifat subjektif, jadi bergantung pada bangunan argumentasi masing-masing pihak. Sedangkan dari aspek substansial misalnya terkait postur anggaran yang diatribusikan melalui peraturan presiden yang dinilai menyalahi aturan dan berpotensi disalah gunakan.

Ketentuan lain yang cukup ramai dibicarakan adalah Pasal 27 ayat (1) dan (2) yang pada pokoknya berbunyi, (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Kemudian Pasal (2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat  dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan di atas memberikan kekebalan hukum bagi para pejabat, dari tingkat nasional, daerah, hingga desa, untuk memanfaatkan anggaran di tengah pandemi Covid-19 ini. Hal itu dianggap berpotensi besar akan lahan korupsi bagi pengelola anggaran. Terlebih, saat ini pengawasan penggunaaan anggaran baik yang dilakukan oleh penegak hukum, maupun KPK sedang lemah, sehingga semakin memudahkan seseorang untuk melakukan penyimpangan anggaran. Temuan dari beberapa pihak, menunjukkan bahwa saat ini pendistribusian bantuan lansung tunai yang dilakukan oleh Ketua RT dan RW, banyak disalahgunakan. Mulai dari peruntukkannya yang tidak tepat sasaran karena syarat dengan aroma nepotisme (ada penyakit akut masyarakat Indonesia saat berhubungan dengan Bansos, yaitu mendadak miskin) hingga nominal serta jumlah penerima yang tidak sesuai ketentuan. Misalnya, ada KK ganda yang seharusnya hanya mendapatkan satu Bansos namun memperoleh lebih dari satu, ada pula KK siluman yang sebenarnya tidak pernah ada tapi tercantum di dalam pendataan.

Kekhawatiran menjadi semakin besar karena ketidakharmonisan ketentuan peraturan perundang-undangan kita. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara adalah tindak pidana korupsi yang dijerak dengan UU Korupsi. Sedangkan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diatur ketentuan yang berbeda, dimana Penyalahgunaan Wewenang hanya mendapatkan sanksi administrasi berupa pembatalan kebijakan serta pengembalian keuangan negara. Dua peraturan yang berbeda ini akan sangat menguntungkan pengelola anggaran, karena UU Adpem hanya memberi sanksi administrasi dan itupun mensyaratkan adanya laporan dari Aparat Pengawas Internal Pemerintahan (APIP). Dalam konteks ini, maka potensi penyalahgunaan anggaran penanganan Covid-19 ini tentu cukup besar.

Kini, Perppu tersebut tengah di-judicial review-kan ke Mahkamah Konstitusi, dan di sisi lain telah pula disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Tentu bagi kita sebagai rakyat biasa, yang paling penting adalah bagaimana agar implementasi Bansos tepat sasaran dan pandemi Covid-19 cepat teratasi. Diluar itu, biasanya hanyalah kepentingan elit semata, yang tak ada hubungannya dengan penderitaan rakyat.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top