Kutipan singkat di atas barangkali merupakan gambaran sederhana tetapi penuh makna dari apa yang ingin digagas dan disuarakan oleh Ahmad Syafii Maarif dalam buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung ini. Sebuah upaya, bukan saja reflektif tetapi juga provokatif terhadap pembacaan kembali Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Tiga entitas yang maha luas cakupannya dengan kandungan persoalan yang begitu kaya. Tentu saja bukan pekerjaan ringan untuk menangnkap setiap jantung dari tiga domain tersebut. Dalam kerja keras Maarif, ketiga bentangan nilai ini diyakini merupakan satu nafas yang bisa seiring dalam tubuh yang sama. Begitu percayanya akan elan prinsip ini, bisa terbaca dari begitu runut tergulir dari gagasan per gagasan yang ditorehkan dalam bukui ini.
Kegelisahan Maarif sebagai orang yang sangat konsen terhadap perjuangan nilai-nilai keragaman, demokrasi dan perdamaian berawal dalam pembacaan kekinian tentang kondisi ketiga unsur itu dalam konteks historis Indonesia yang berjalan berdampingan. Perenungnnya menelisik jauh sampai pada masa sebelum format republik Indonesia modern ini berdiri. Tentu saja apa yang ia pikirkan menyentuh pada hakikat dan substansi tentang perjalanan Keislaman yang hari-hari ini menyimpan banyak tantangan dan persoalan. Buku setebal 388 halaman ini barangkali bisa dikatakan sebagai proyek pemikirannya yang telah lama ia harapkan untuk menguatkan misi Islam pada jalan yang diyakininya benar.
Intelektual muslim Muhamadiyah ini terlihat sedikit risau dengan berbagai kondisi Keislaman yang beberapa tahun ini terjadi. Beberapa catatan konflik kekerasan dan tindakan-tindakan politik yang masih saja sering menggunakan ‘klaim’ dan ‘label’ agama masih menghiasi wajah politik Keindonesiaan saat ini. Bukan saja bahwa peristiwa-peristiwa itu telah mencabik-cabik rasa aman, rasa damai, integritas dan kerukunan yang ada dalam masyarakat, tetapi lebih jauh ‘politik pengatasnamaan agama’ justru kian hari masih menjadi trend untuk kepentingan-kepentingan pragmatis sesaat.
Realitas di atas jelas berhadapan kontras dengan sikap pandangan keagamaan yang seharusnya dibangun. Di halaman-halaman awal buku ini penulis secara eksplisit menekankan
pentingnya rekonstruksi dan pelurusan kembali atas tindakan-tindakan keislaman yang melenceng jauh dari misi sakral yang dibawa Islam. Menurut refleksinya,
“Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam. Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Nusantara, tanpa diskriminasi apapaun agama yang diikuti dan tidak diikutinya. Islam yang sepenuhnya berpihak bagi rakyat miskin”. (hal 5)
Buku ini sekaligus secara implisit menampilkan cerminan jawaban atas ketegangan teologis dan juga filosofis yang sudah hampir menjadi klasik yakni tentang ‘universalisme’ dan ‘partikularisme’ dalam perspektif Keislaman. Tidak berusaha untuk mendaku dan mendukung secara membabi-buta atas dikotomis teologis tersebut, Maarif justru ingin menguraikannya dalam kenyataan sosio historis yang kongkrit yang hari-hari ini sedang dihadapi bukan saja bangsa Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Dalam tuturannya di bagian buku ini ia secara prinsip memberi catatan bahwa “Islam itu bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan, memang benar demikian. Tetapi praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional maupun glabal.” (hal 19). Berdiri diam dalam kebekuan masing-masing kutub hanya menjerembabkan Islam dalam stagnasi yang menyedihkan.
Tanpa menafikan keberadaan arus pemikiran tersebut yang masih juga eksis, Maarif sebenarnya ingin medorong pentingnya dialog yang lebih kritis terhadap berbagai persoalan yang menggelayut dalam Islam. “Hidup berkemajuan adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik dan benar”, tegasnya. Tanpanya Islam akan mengalami ketertinggalam amat jauh dengan pentas peradaban yang lain. Menyitir dari apa yang juga pernah dituliskan oleh pemikir kritis Islam yang amat bterkenal, Muhammad Iqbal, usaha untuk membangun dan membingkai proses pemajuan Islam lagi-lagi membutuhkan keseriusan dan tanggungjawab yang penuh. Pekerjaan ini adalah ijtihad penting untuk merekonstruksi kembali nilai-nilai Islam dalam spirit “ruh zaman” yang selalu bergerak. Pekerjaan ijtihad tidak diragukan lagi adalah sebuah pekerjaan besar yang memerlukan cakrawala pandangan yang luas, dalam, dan cerdas. Menyitir pernyataan Iqbal, pekerjaan “mujtahid” harus memiliki pemikiran yang “penetratif” dan “pengalaman yang segar” bagi sebuah pekerjaan rekonstruksi yang terbentang di depannya. (hal. 260).
Buku ini secara prinsip dibagi dalam urutan lima bab. Masing-masing bab terutama di bab pertama sampai keempat merupakan pendasaran teoritik filosofis, sosisologis, historis serta pengkajian teologis yang kesemuanya mengarah pada pentingnya pertemuan ketiga gagasan tentang Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bab I buku ini menggambarkan situasi historis dan sosiologis sebagai bumi pijakan untuk memandang Islam yang khas berkembang di Indonesia. Tidak berkehendak untuk meromantisir kesejarahan Islam di Indonesia, Maarif dalam bab ini memberi catatan kritis bahwa sejarah kehadiran Islam di Indonesia sebanarnya pula tidak bisa dilepaskan dengan berbagai dinamika politik, ekonomi dan sosial baik lokal, nasional maupun global yang metarelasinya amat kompleks.
Kekayaan variabel ini yang menyebabkan wajah Islam Indonesia tidak bisa dibaca secara linier. Proses kontestasi dengan peradaban yang lebih lama dan juga pertemuan dengan berbagai unsur kebudayaan yang sudah ada telah memperkaya Islam. Di sub bagian ini, penulis juga tidak menutupi bahwa banyak fakta yang beragam yang telah membingkai Islam di Indonesia hari ini. Di sisi lain persentuhan dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan terutama bingkai sejarah kekuasaan yang pernah dihadirkan oleh ekspansi Islam membuat kadang Islam bisa dibaca dalam dua kecenderungan ini. Di titik ini sangat menarik apa yang dituliskan oleh Maarif bahwa “Orang harus berhati-hati membedakan ‘ekspansi politik kekuasaan’ dan ‘pengembangan agama”. (hal 78). Pola kecenderungan ini sebenarnya diakui oleh penulis masih kerap hadir dalam pentas politik Indonesia saat ini. Ada yang melihat secara ekstrim bahwa penyebaran nilai-nilai dan ajaran Islam harus dilakukan dengan proses ekspansi perebutan kekuasaan. Tentu saja Maarif tidak ada dalam barisan itu. Ia justru mengingatkan pentingnya proses-proses yang lebih kultural dan demokratis dengan misi yang damai untuk membawa mandat nilai-nilai Islam. Di sanalah substansi, hakikat dan isi tentang nilai-nilai Islam bisa diperjuangkan. Dalam tulisannya ia menegaskan “Adalah sebuah fakta yang tidak dapat ditolak bahwa agama tidak jarang dijadikan ‘pembenaran’ terhadap sebuah sistem kekuasaan yang menghianati pesan utama dari agama itu.” (hal 79).
Di bab lainnya, gagasan Maarif juga menyentuh persoalan politik, demokrasi dan juga tentang proyeksi masa depan Islam dengan penuh optimisme. Tentu saja demokrasi menjadi bab yang penting diangkat karena bahwa isu dan metode itu sampai saat ini masih sering menjadi polemik pro kontra yang belum berkesudahan. Di satu sisi ada arus pemikiran Islam yang masih melihat ‘sistem demokrasi’ sebagai sistem yang ‘kafir dan sesat’ dan arus besar lain yang melihat justru sebaliknya bahwa ‘demokrasi’ sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Keislaman.
Berdiri sebagai pembela garis depan demokrasi, Maarif dengan tekun dan jeli menelusuri pendasaran keyakinannya dengan berbagai telaah teoritis yang ada dengan tidak meninggalkan spirit Keislaman yang bertumpu pada doktrin Qur’an dan Hadis. Meminjam beberapa pemikir-pemikir Islam seperti Fahmi Huwaydi dari Mesir, Fatimah Mernissi, Zuhairi Misrawi, Khaled Abou El Fadl, dan Muhammad Syahrur dari Suria buku ini ingin meyakinkan bahwa sistem demokrasi sebenarnya banyak terkandung dalam spirit Islam secara fundamental.
Mengutip dari gagasan Khaled Abou El Fadl bahwa “Berdasarkan pengalaman umat manusia, hanya dalam sistem pemerintahan konstitusional demokratik, keadilan bisa ditegakkan karena rakyat punya akses kepada lembaga-lembaga kekuasaan dan adanya akuntabilitas pada jabatan-jabatan publik. Sebaliknya dalam sistem yang no-demokratik, akan sangat sulit penguasa diminta bertanggungjawab terhadap penyalahgunaan kekuasaan” (hal 155). Tentu saja jika lebih mendalam dan mengkaji apa yang pernah terlintas dalam nilai dan sekaligus sejarah Keislaman, ada praktik berdemokrasi yang pada Islam awal sebenarnya sudah pernah muncul. Prinsip demokrasi pada hakikatnya sama dengan prinsip syura (musyawarah). Pada Surat Al-Syura ayat 38 lebih terjelaskan
“Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka, dan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, mereka infakkan adalah bagian dari akidah dan ibadah yang prinsip- prinsipnya tidak bisa diganti oleh umat Islam.
Keyakinan pada prinsip berdemokrasi sejatinya juga didasarkan pada berbagai pengalaman sejarah umat manusia yang panjang. Yang pasti, dalam sistem demokrasi rakyat diberi akses untuk mengetahui secara terbuka tentang bagaimana mesin kekuasaan itu dijalankan, bagaimana sumber- sumber ekonomi keuangan ditata dan dialokasikan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka punya hak dasar untuk turut memimpin secara langsung perputaran mesin kekuasaan itu. (hal 151) Tentu saja ini barang mustahil akan terjadi pada sistem yang “non-demokratis” yang kerap kali menunjukan wajah despotik dan korup sebagaimana yang dilontarkan secara kritis oleh Fatimah Mernissi dalam mengkritik berbagai sistem monarkhi kerajaan Arab yang penuh dengan eksploitasi dan korupsi.
Selaras dengan masa depan Islam, Mernissi sebagaimana dikutip oleh Maarif juga sangat meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dalam ruang demokrasilah pengembangan nilai-nilai Islam yang lebih substansial bisa berjalan. Menambahkan keyakinan ini seorang pemikir Islam dari Suria, Muhammad Syahrur menambahkan bahwa, “sistem demokrasi melampaui masyarakat keluarga, klan, kabilah (suku), kelompok, mazhab, dan juga melampui masyarakat patriarkhi”.s (hal 158).
Dalam bab tiga buku ini Maarif juga memberikan gagasan menarik yang sering kali dilupakan, bahwa pembangunan demokrasi yang berkontribusi pada pengembangan Islam juga harus dilandasi dalam prasyarat penguatan pendidikan dan pengetahuan masayarakat. Bisa dibayangkan jika syarat itu tidak ada. Kebodohan adalah musuh terbesar yang harus bisa diselesaikan untuk berhadapan dengan gerak jaman yang semakin cepat. Jika tidak, umat Islam akan tertinggal jauh dibelakang. “Karena kelalaian memikirkan masalah pendidikan ini secara sungguh-sungguh, maka buahnya adalah ketertinggalan umat” tegasnya. (hal 213). Dalam konteks perjalanan sistem pendidikan Indonesia, Maarif bahkan mendorong upaya untuk tidak lagi memisahkan ‘dualisme’ secara dikotomis nantara pendidikan agama dan pendidikan ilmu yang lain yang selama ini dianggap dua hal yang berbeda.
Secara garis besar buku ini sebenarnya ingin sekaligus menggambarkan upaya serius untuk menciptakan kultur wajah Keislaman yang tidak lagi phobia dan alergi hadap-berhadapan dengan konteks historis yang ada. Apa yang dibayangkan oleh Maarif adalah berharganya perpaduan nalar kerangka pikir yang lebih berwawasan kemajuan untuk mendorong peradaban Islam sehingga tidak berjalan ditempat. Poin penting yang selalu diulang dalam tulisan ini adalah bahwa ,
“Dalam anyaman kerangka pikir Islam, Keindonesiaan dan kemanusiaan diharapkan bangsa ini bersedia menatap dan membaca ulang masa lampauinya untuk kepentingan kekinian dan hari esok secara jujur, bertanggungjawab dan dengan rasa cinta yang mendalam.” (hal 40)
Pemikiran nilai-nilai Islam yang literer, formal dan legalistik akan sangat menghambat Islam untuk mampu membawa misi sejatinya. Menurutnya, masih banyak kaum literer yang tidak melihat kepada ‘makna’, ‘substansi’ dan ‘hakikat’ tetapi lebih kepada ‘bentuk’ (forma). Konsekuensi dari keyakinan prinsip ini adalah butuh keberanian dan keterbukaan diri untuk memahami Keislaman lebih kritis dan mendalam. “Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan pada masa kita tidaklah mungkin jika kita tidak berani menilai secara kritikal seluruh pemikiran muslim masa lampau yang memang kaya tersebut”. (hal 259). Penegasan dari Maarif ini sangat dilandasi dengan satu premis keyakinan bahwa tanpa mengindahkan keterbukaan dialog dengan berbagai nilai yang bersentuhan dengan Islam maka perkembangan Islam hanya akan berhenti pada tataran ritual yang kehilangan ruh, sedangkan misi utamanya tercecer di tengah jalan. Yang tersisa hanyalah kerangkanya dalam bentuk formal, jika bukan monster, tetapi sepi dari nilai-nilai kemanusiaan yang halus, elok dan sejuk; ia bukan lagi Islam yang hidup dan menghidupkan; bukan pula Islam kenabian atau Islam Qur’ani yang selalu memberi inspirasi untuk berbuat yang terbaik bagi semua mahluk (hal.302)
“dasar dari asas syari’ah adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Seluruh syari-ah mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah”
(Ibn Al-Qayyim)