CORONA DAN KEBIJAKAN PEMASYARAKATAN

 Menghadapi Pandemi Covid-19 yang tengah melanda Indonesia dan dunia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan dua paket kebijakan. Pertama, Menkumham mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Kedua, Sandingan dari Kepmen tersebut dikeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Kebijakan pertama, berupa Kepmen tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, pada pokoknya berisi ketentuan bahwa narapidana dan anak yang telah memenuhi syarat pembebasan pada akhir tahun 2020 ini, dapat dibebaskan lebih awal. Sedangkan kebijakan kedua, berupa Permen tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, pada pokoknya berisi kemudahan syarat pembebasan bagi narapidana dan anak. Satu hal yang cukup menarik adalah ketentuan Pasal 4 yang meniadakan Litmas dan diganti dengan Laporan Perkembangan Pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas, sebagai syarat pembebasan narapidana dan anak.

Terkait dengan dua paket kebijakan itu, ada beberapa catatan yang patut menjadi perhatian bersama. Pertama, telah menjadi rahasia umum bahwa hampir seluruh lembaga pemasyarakatan (99%) mengalami over kapasitas yang rata-rata nasionalnya mencapai 103%, bahkan tidak sedikit Lapas mencapai 200%. Ini adalah masalah klasik lembaga pemasyarakatan sebagai akibat dari pendekatan sistem peradilan pidana yang terfokus pada pemenjaraan. Oleh karena itu, selama kebijakan penal dan kriminalisasinya tidak diperbaharui, over kapasitas tidak akan pernah bisa diatasi. Kedua, kondisi di atas tentu sangat beresiko di tengah pandemi covid-19 saat ini. Dengan sumber daya yang ada, dokter dan obat-obatan yang terbatas, dapat dipastikan Lapas tidak akan mampu menghadapi penyebaran virus jika sudah terpapar di dalam Lapas. Belum lagi, sempitnya area lapas dengan penghuni yang begitu banyak akan sangat sulit menanggulangi penyebaran, tidak saja terhadap narapidana namun juga petugas Lapas. Sampai disini, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan penanggulangan covid-19 ini mutlak dibutuhkan.

Harus dipahami bahwa bebas bersyarat adalah hak narapidana dan anak yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan, sepanjang persyaratan telah terpenuhi. Kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang membebaskan lebih awal narapidana dan anak, sesungguhnya sudah lebih dulu dilakukan oleh negara-negara lain, juga sebagai upaya penanggulangan penyebaran covid-19 ini. Afganistan, Iran, Amerika sudah lebih dulu melakukan, bahkan Jerman sudah membebaskan 1.000 narapidana (CDS, 2020). Namun, ada dua kritik terhadap dua paket kebijakan ini, yang patut menjadi perhatian kita bersama agar tidak disalahgunakan. Pertama, pembebasan narapidana dan anak dalam konteks covid-19 ini sejatinya harus pula mempertahikan faktor resiko, sehingga mekanisme lebih terkontrol. Misalnya, narapidana yang beresiko rendah tertular covid-19 dan narapidana yang beresiko besar mengulangi tindak pidana, tidak perlu mendapatkan pembebasan awal. Catatan resiko ini sejatinya tidak terlalu sulit diperoleh dengan memanfaatkan kerja Balai Pemasyarakatan (Bapas). Selain itu, seharusnya pula ditentukan bahwa tidak semua narapidana dapat memperoleh pembebasan awal atau tidak diprioritaskan mendapat pembebasan, misalnya narapidana dengan tindak pidana korupsi, bandar narkoba, teroris transnasional, pembunuhan, dan kekerasan seksual terutama pada anak. Narapidana dalam klaster ini, jika dipaksakan tetap dibebaskan justeru akan berdampak negatif bagi citra Kemenkumham karena dianggap menciderai nilai keadilan.

Kedua, kebijakan dalam Permen yang meniadakan Litmas sebagai syarat pembebasan dan diganti dengan Laporan Perkembangan Pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas, menjadikan syarat pembebasan sangat subjektif. Bahayanya, jika tidak mendapatkan kontrol yang ketat, ini berpotensi dimanfaatkan sebagai “ladang bisnis” baru di lembaga pemasyarakatan. Karena kebijakan sudah dikeluarkan, maka Menteri Hukum dan HAM harus memastikan kewenangan ini tidak disalahgunakan, tentu saja kontrol media dan masyarakat sangat dibutuhkan.

Di samping dua paket kebijakan itu, ada pula wacana Menteri Hukum dan HAM untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan narapidana koruptor dan narkotika tidak dapat menikmati pembebasan awal di dua paket kebijakan sebelumnya. PP mengharuskan adanya syarat tambahan bagi narapidana korupsi dan narkotika untuk mendapat pembebasan. Tentu kebijakan ini tidak tepat, jika presiden tetap merevisi PP, penolakan dari masyarakat akan sangat besar dan memperburuk citra presiden sendiri. Belum lepas stigma pro koruptor karena dinilai melemahkan KPK, sekarang akan disusul oleh kebijakan baru dengan substansi yang tidak jauh berbeda. Covid-19 memang mengkhawatirkan, namun membebaskan karoptor, selain tidak relevan juga menciderai keadilan hukum.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top