Tindak kekerasan sampai hari ini masih terus bergulir, dengan beragam motif dan latar belakang. Gerakan separatis di berbagai wilayah di Indonesia semakin menunjukkan nyalinya. Sejumlah aksi kekerasan di Poso dan Ambon telah merenggut ribuan nyawa tak bersalah. Teror bom bunuh diri di kedutaan besar asing, di pusat keramaian, bahkan di tempat-tempat suci ibadah tak terelak lagi. Ada yang berpendapat, itu semua adalah resiko dari dinamika transisi politik di belahan bumi manapun, termasuk di Indonesia.
Mengakhiri Millenium kedua dan menjelang lengsernya rezim Orde Baru, Soeharto, di berbagai wilayah di Indonesia muncul berbagai fenomena memprihatinkan berupa peristiwa kerusuhan massal dan kekerasan yang mengatasnamakan SARA (suku, etnis, dan agama). Sebagai gambaran, konflik di Sambas antara etnis Melayu dan Madura pada 1999 mengakibatkan 150 korban meninggal dunia dan lebih dari 10.000 warga setempat harus menggungsi. Sementara, konflik di Ambon telah merenggut 3.000 korban meninggal dunia. Konflik lainnya yang juga menimbulkan dampak luas adalah konflik di Timor Leste, Aceh, Papua, Maluku, dan Poso.
Munculnya konflik lokal di Indonesia tidak mudah untuk ditebak motif indikasinya, karena setiap konflik mempunyai penyebab dan dinamika yang berbeda. Dimensi permasalahan yang menyebabkan konflik-konflik tersebut berkembang relatif beragam, mulai dari unsur politik, ekonomi, sosial maupun kultural (agama). Maka, pembahasan mengenai konflik-konflik tersebut harus ditempatkan pada konteks yang lebih komprehensif.
Praktik kekerasan di masa Orde Baru dengan mendasarkan pada sentimen agama, sebenarnya tidak lahir secara alami sebagai persoalan masyarakat bawah an sich. Namun, itu merupakan mata rantai keberlanjutan dari suasana dan karakter sistem politik yang sedang berkuasa (Orde Baru). Kekerasan yang terjadi bukanlah ekspresi sesaat atas situasi itu, tetapi lebih berakar pada gejala yang menyejarah dan terpendam sangat lama. Oleh karena itu, kekerasan massa yang berkembang menjelang dan sesudah runtuhnya Orde Baru, merupakan reaksi atas kekerasan sebelumnya yang dilakukan dan dilembagakan oleh negara (kekerasan struktural).
Kenapa Harus Agama ?
Ironisnya, isu SARA (suku, etnis, agama) terutama agama, menjadi umpan politis strategis untuk memperkeruh stabilitas bangsa dan negara. Orientasi masyarakat terbelah (split oriented), persatuan dan kesatuan bangsa tercerai berai, masyarakat menjadi panik, penjarahan dan pembakaran kios warga keturunan Tionghoa (Cina), serta teror dan pembakaran sarana tempat ibadah. Semua itu tidak lain merupakan dinamika politik sebuah zaman yang sedang bergejolak.
Agama seringkali menjadi taruhan bagi terwujudnya setiap interest politik. Dalam kondisi sosial- keagamaan masyarakat Indonesia yang sangat plural, keinginan untuk membangkitkan sikap sektarian dengan menciptakan agama sebagai simbol merupakan fenomena yang sering dijumpai pada masa-masa akhir kekuasaan orde baru. Agama kemudian menjadi bagian dari tuntutan proporsionalisme; yaitu suatu distribusi kekuasaan yang “adil” berdasarkan jumlah populasi agama. Karena sebelumnya, pemerintah telah memberikan perlakuan khusus terhadap semua pihak kecuali pribumi muslim sendiri, terutama Cina untuk bidang ekonomi, dan Kristen untuk bidang politik dan birokrasi. Sementara, bagi masyarakat akar rumput, agama bisa berupa ancaman konversi (baca: Kristenisasi).
Sementara Hefner berpendapat, pergolakan yang terjadi menjelang akhir tampuk kekuasaan Soeharto, menunjukkan nihilnya konsensus di kalangan umat Islam mengenai pluralisme dan demokrasi. Hal ini dapat dibenarkan karena target utama dari upaya reformasi adalah penggulingan rezim yang dipersonifikasikan dengan sosok Soeharto sebagai common enemy. Menurutnya, Ada pola yang dominan, yaitu munculnya kelompok Islam ultrakonservatif yang didukung oleh rezim, yang di dalam melakukan aksi-aksinya bekerja sama dengan Prabowo Subianto (menantu Soeharto) untuk selalu mendukung Soeharto dengan menebarkan kebencian yang didasarkan pada agama. Dengan demikian, kekerasan yang menandai lengsernya Soeharto membongkar logika kebijakannya terhadap agama (Islam) yang gagal. Dan pada akhir kekuasaannya, Soeharto masih memiliki kelompok think tank elite yang fungsinya untuk memproduksi propaganda anti Cina dan anti Kristen.
Sementara sejumlah pengamat menilai, bahwa berbagai kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pasca lengsernya Soeharto sangat berhubungan dengan tumbangnya kekuatan lama, yakni mereka yang pro status- quo dan para mendukung fanatik Soeharto serta yang ingin menggagalkan pemilu yang akan menggantikan pemerintahan yang reformis. Selain itu, kekerasan agama yang tersulut di daerah-daerah sebagai usaha mengalihkan perhatian publik dari usaha kelangsungan tuntutan masyarakat terhadap semakin ditegakkannya supremasi hukum, dalam hal ini terkait pengusutan terhadap harta kekayaan para pejabat Orde Baru (terutama Soeharto) yang dicapai melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). (Hal. 153).
Dalam buku ini, Haqqul Yakin, penulis buku, berkesimpulan bahwa munculnya berbagai konflik kekerasan dan kerusuhan massa yang terjadi pada masa rezim Orde Baru dan pasca runtuhnya tampuk kekuasaan Soeharto yang selalu identik dikaitkan dengan persoalan-persoalan SARA (suku, etnis, dan agama) murni tidaklah benar. Di balik itu semua, negara yang dalam hal ini para elite politik memegang kunci skenario atas konflik demi untuk mengacaukan stabilitas pemerintah yang bersih dan damai.
Agama sebagai sistem kepercayaan yang mencerminkan kekuatan moral baik secara individu maupun sosial, selalu memberikan dorongan kepada pemeluknya untuk berbuat baik, menjauhkan diri dari kejahatan dan hawa nafsu, mengejar keselamatan dan ketenteraman di dunia dan akhirat. Sedangkan secara sosial, agama sebagai cermin bagi terjadinya distorsi akhlak dan budi pekerti dalam masyarakat. Korupsi, penindasan, kemaksiatan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya yang berimplikasi sosial dianggap abnormal dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi keluhuran moral.