Peningkatan angka kekerasan seksual dan maraknya kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak. Kasus-kasus itu begitu rupa telah membuat banyak orang berang, marah serta tak sedikit mengutuk tindakan kekerasan seksual tersebut. Banyaknya peristiwa itu tidak hanya mengancam perlindungan pada perempua dan anak tetapi sekaligus sebuah tamparan keras bagi cita-cita terpenuhinya penghargaan atas harkat martabat manusia. Problem itu perlu untuk direspon dan dijawab secara mendalam dan berkeadilan.
Dalam pembacaan yang lebih luas, fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dipengaruhi oleh banyak kaitan dan tautan dimensi. Jauh dari hanya sekedar soal moralitas ataupun problem patologis libido seksual manusia, problem ini banyak menyeret akar persoalan yang jauh lebih kompleks. Faktor sosial ekonomi politik memberi andil akan ruang yang semakin rawan akan hadirnya problem kekerasan. Pada dimensi yang tidak kalah penting, situasi ini adalah rupa dan wajah gambaran dari mekanisme nalar kuasa bekerja dan relasi kehidupan masyarakat.
Perempuan dan anak yang diletakkan pada kondisi dan konteks budaya dan sosial yang asimetris patriakhal tentu akan menjadi subjek yang selalu rentan dan rawan menjadi korban dalam berbagai relasi yang dijalaninya. Setidaknya beberapa kasus yang muncul juga memberi bukti yang lebih kompleks ketimbang problem moralitas dan patologi libido semata. Perspektif car abaca ini belumlah menjadi kesadaran nalar yang meluas. Dalam banyak kasus dan respon sosial yang muncul, justru tidak sedikit juga memberikan kesalahan pada tingkah laku dan tindakan perempuan.
Mengapa perspektif yang tidak adil pada perempuan ini terus masih bertahan? Bagaimana seharusnya car a baca yang lebih tepat dan adil bisa dibangun dalam merespon dan menanggapi isu-isu tersebut? Tentu kebutuhan penting untuk bisa menemukan akar masalah dan geneologi persoalan tentang kekerasan sosial berkait dengan spektrum dimensi yang lebih luas.
Belum lama ini pemerintah juga merespon peningkatan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terus terjadi. Pemerintah Jokowi telah mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu itu salah satunya memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Apa yang baru dan menarik untuk dilihat adalah, Perpu itu juga mengatur tiga sanksi tambahan yakni ‘kebiri kimiawi’, ‘pengumuman identitas ke publik’ serta ‘pemasangan alat deteksi elektronik’.
Sebagian masyarakat menyambut baik atas keputusan pemerintah dengan penerbitan Perpu tersebut, namun tidak sedikit yang memberi catatan dan penolakan terutama terhadap posisi sanksi hukuman. Bukan semata pada metodologi sanksi tetapi juga menyangkut perspektif dasar yang dipakai pemerintah untuk pengeluaran Perpu tersebut. Kritik yang gencar diberikan pada pemerintah adalah menyangkut perspektif dasar yang masih menganggap problem patologin libido seksual sebagai persoalan. Bahkan beberapa penilaian melihat bahwa pemberatan sanksi dan jenis sanksi hukuman itu tidak akan menjamin akan penurunan jumlah kekerasan dan perkosaan melainkan akan menumbuhkan jenis baru pemerkosaan.
Setidaknya ada masukan perspektif yang melihat bahwa kasus-kasus perkosaan tidak semata persoalan libido melainkan sangat terkait dengan persoalan diskriminasi gender atau kekerasan berbasis gender. Kekerasan bahkan dipandang sebagai bentuk wajah dari mekanisme nalar kuasa yang bekerja dalam masyarakat, termasuk misalnya nalar diskriminasi kuasa patriakal dan sistem relasi ekonomi politik yang masih timpang dan menempatkan perempuan dalam struktur kelas kedua dalam masyarakat.
Tentu sangat menarik, penting dan juga mendesak untuk isu dan problem itu selalu kita baca dan kaji untuk membantu menemukan dimensi dasar yang harus dipecahkan. Proses legalisasi dan formalisme pemberatan hukuman bisa jadi menjadi langkah perkembangan dari proses mensikapi kekerasan seksual yang ada. Namun legalisasi pemberatan hukuman juga harus dilihat dalam berbagai kaitan dimensi yang perlu dilihat. Perkara memutus akar kekerasan berdimensi gender beserta segala kerumitannya membutuhkan cara baca yang lebih luas ketimbang hanya persoalan legalitas hukum semata. Pada titik inilah tema ini menjadi sangat penting untuk dielaborasi terus-menerus.
Tujuan Capaian Diskusi :
- Mengkaji dan menemukan dimensi-dimensi mendasar yang menjadi akar pokok persoalan atas peningkatan fenomena pelecehan, pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
- Mencari perspektif lebih maju dan berkeadilan atas penyikapan kasus kekerasan, pelecehan swkauL dan perkosaan terhadap perempuan dan anak di Indonesia:
- Memberikan catatan tawaran dan solusi tepat dan mendalam untuk pemecahan persoalan terutama terkait dengan berbagai polemik sanksi pemberatan hukuman pelaku perkosaan dan pelecehan seksual di Indonesia.
Pelaksanaan Acara :
Hari/Tanggal : Rabu, 8 Juni 2016
Waktu : 09.00 – 13.00 WIB
Tempat : Ruang Seminar Pusham UII Yogyakarta
Narasumber:
- Indriyati Suparno, SS (Komisioner Komnas Perempuan)
- Dian Arymami, SIP, M.Hum (Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM )
- Ernawati (Aktivis Perempuan Yogyakarta)