NEWS

Latest News by the Center for Human Rights
Studies of the Universitas Islam Indonesia

Peserta : 30 Hakim Seluruh Indonesia

Tempat : Santika Premiere Jogja,  18 – 21  November 2013

Materi :

KEKUASAAN KEHAKIMAN & PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh : Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si

HAM DAN KEWAJIBAN PERADILAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN HAM
Oleh : Joseph Adi Prasetyo

“DAMPAK KEJAHATAN KORUPSI TERHADAP : DEMOKRASI DAN MARWAH KEHAKIMAN DAN PENDEKATAN PROFETIK”
Oleh : Dr. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum

PRODUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA TENTANG HAK ASASI MANUSIA
Oleh : Eko Riyadi, S.H., M.H.

KORUPSI SEBAGAI EXTRA ORDINARY CRIME
Oleh : Dr. Artidjo Alkostar, SH.LLM

KORUPSI DAN PEMBUNUHAN NEGARA HUKUM
Oleh : Dr. Zainal Arifin Muchtar, S.H., LL.M.

CORRUPTION AND HUMAN RIGHTS
Oleh : Kjetil Fiskaa Alvasker

“PRINSIP HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI KODE PERILAKU PERADILAN (PASAL 14, 26 KIHSP)”
Oleh : Dr. H. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M.

PENGUATAN PEMBERANTASAN KORUPSI: PUTUSAN HAKIM BERBASIS HAM & PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL
Oleh : Dr. Bambang Widjojanto, S.H., M.H.

EXECUTIVE CLASS ON ANTI MONEY LAUNDRY TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG
Oleh : Dr. Muhammad Yusuf, S.H., MM.

Kelamnya penegakan hukum di  Indonesia pada rezim tertentu, selalu memberikan pekerjaan tambahan bagi generasi sesudahnya. Terdapat banyak kasus yang tidak tuntas penyelesaiannya, seperti  kasus Marsinah, Lumpur Lapindo, kasus Munir, kasus Tri Sakti dan Semanggi dan berbagai kasus lainnya. Di Yogyakarta, salah satu kasus yang tidak tuntas dan segera mendekati masa daluarsa adalah kasus meninggal wartawan media Bernas bernama Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin.

Persoalan daluarsa kasus Udin ini ditanggapi beragam oleh beberapa pihak. Artijo misalnya mengatakan bahwa “Kasus pembunuhan Udin tidak (akan) kedaluwarsa karena tersangka (pembunuhnya ) belum pernah diadili,”. Pernyataan lainnya adalah “nampaknya ada skenario untuk mengambinghitamkan. Tersangkanya saja belum pernah diperiksa, bagaimana bisa disebut kedaluwarsa?”. Pernyataan tersebut disampaikan Artidjo dalam diskusi publik “Upaya Mengungkap Misteri Pembunuhan Udin Melalui Mekanisme Pengadilan”, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis, 5 September 2013. (Kompas 6 September 2013).

Yosep Adi Prasetyo, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, mengatakan bahwa  “istilah” kedaluwarsa tidak dikenal dalam kasus pelanggaran HAM berat. Menurutnya, kasus Udin termasuk kategori Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sejauh ini, terasa belum ada upaya cukup serius dari aparat penegak hokum untuk menyelesaiakn kasua Udin tersebut. Hal ini ditandai dengan molornya waktu penanganan kasus hingga mendekati 18 tahun, tidak diungkapknya actor utama pelaku pembunuhan dan tidak jelasnya alur penegakan hokum kasus tersebut. Kasus pembunuhan Udin terjadi pada pada 13 Agustus 1996. Diduga penganiayaan yang merengut nyawa Udin ini terkait dengan berita yang dia tulis di harian Bernas, di antaranya soal dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul. Setelah itu, masyarakat justru disuguhi berita tentang rekayasa kasus tersebut seakan-akan dilakukan oleh seseroang dengan alibi perselingkuhan. Namun scenario tersebut gagal karena para pelaku (yang dilibatkan dalam scenario) telah memberikan keterangan yang menunjukkan bahwa mereka dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan.  

Pada kesempatan ini Pusham UII dan rekan-rekan yang peka terhadap peristiwa meninggalnya wartawan Udin di Yogyakarta akan melakukan sebuah diskusi secara mendalam untuk memformulasikan kembali temuan fakta dan konstruksi hukum yang diterapkan agar peristiwa tersebut menemukan titik temu agar dan dapat di ajukan di pengadilan sebagai jawaban atas keraguan publik terhadap institusi kepolisian terutama Polda DIY dalam keseriusan mengungkap pelaku yang sesungguhnya.

Adapun Tujuan kegiatan ini adalah :

  1. Merefleksikan kembali Kasus Udin sebagai bahan pembelajaran potret lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
  2. Mengetahui kebijakan Polda DIY akan Proses hukum terhdap “kasus Udin” yang hampir kadaluarsa.
  3. Mencari formulasi advokasi yang dapat digunakan aparat penegak hukum dalam mengungkap peristiwa tersebut, sebagai upaya perjuangan bersama antara masyarakat sipil dan kepolisian Repiblik Indonesia agar tegaknya kebenaran, tegaknya hukum dan tegaknya keadilan bagi keluarga korban yang ditinggalkan maupun masyarakat luas khususnya insan pers dalam menjalankan tugasnya sebagai pewarta.
  4. Mendorong aparat penegak hukum agar melakukan kinerja sesuai dengan peraturan yang berlaku dan transparan.


Acara ini bertempat di Hotel Santika Premiere Yogyakarta pada tanggal 29 -30 Oktober 2013. Peserta workshop berjumlah 25 orang yang terdiri dari polisi, wartawan, LSM, Advokad, Pusat studi, dan gerakan mahasiswa. Dan Pembicara : Kapolda DIY, Heru Prasetya (Tim Investigasi Kijang Putih), Nur Ismanto (advokad senior)  dan Ari Sujito.

Polisi demokratis memiliki makna sebagai Polisi yang menghargai hak-hak sipil, tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan good governance serta melakukan pemolisian modern (community policing). Demikianlah prinsip dasar dari pemahaman Pemolisian Demokratik (Democratic Policing) yang menjadi konsen dari pengembangan institusi kepolisian modern ke depan. Dalam beberapa kesempatan konsep dan bagaimana pemolisian demokratik harus dilakukan, telah disampaikan oleh pimpinan Polri. Gagasan ‘Pemolisian Demokratis” memang selaras dengan cita-cita reformasi kepolisian terutama membentuk polisi yang lebih menghargai prinsip-prinsip demokratis yang bisa bisa selaras dengan pengembangan polisi masa depan yang lebih modern.

Beberapa refleksi terhadap grand strtategi reformasi kepolisian memang masih banyak ditemukan problem mendasar yang dialami kepolisian. Tingkat kepercayaan masyarakat atas tindakan dan perlakukan pelayanan kepolisian memang masih rendah. Beberapa hal sering berpusat pada berbagai kasus tindakan kepolisian yang dirasa masih jauh dari sipirit dan cita-cita polisi demokratis yang menghargai martabat manusia. Ada tugas yang cukup besar bagi tubuh institusi kepolisian untuk menggarap polisi demokratis. Ada beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan, yakni prioritas pelayanan, bertindak sesuai ketentuan hukum, melaksanakan tugas dengan prinsip akuntabilitas, serta melindungi hak asasi dan transparan.

Dari beberapa hasil riset seringkali ditemukan kecenderungan yang sama yang menyebutkan bahwa kualitas penyajian layanan (quality of service delivery) masih belum optimal. Dalam beberapa kecenderungan didapatkan temuan seperti tinggi rasa tidak aman masyarakat, pelayanan dipersepsi oleh masyarakat justru mempersulit, kehadiran anggota polisi dirasakan oleh masyarakat berkesan mengancam, kecenderungan ‘dark number’ yang cukup besar, tingginya pelanggaran hukum dan etika oleh anggota Polri, dan citra anggota Polri yang masih dianggap negatif di mata masyarakat.

Transformasi dari karakter pemolisian yang konvensional ke yang modern menjadi sangat penting. Poin perubahan tersebut memang harus diakui masih dalam proses pembentukan. Pemolisian demokratik akan lebih menawarkan sebuah wajah karakter kepolisian yang mampu berdiri dalam tugas dan perannya tanpa menghilangkan prinsip besar penghargaan martabat manusia yang dijunjung dalam Hak Asasi Manusia.  Beberapa perilaku buruk seperti tindakan represi, kekerasan dan perilaku ketidakprofesionalan kepolisian adalah wajah dari polisi konvensional yang segera harus ditinggalkan. Karena sejauh apapun tindakan kepolisian tanpa mengindahkan tingkat simpati dan kedekatan masyarakat, maka polisi akan mengalami berbagai kesulitan besar dalam kerja-kerjanya, Ditegaskan oleh Oegroseno bahwa pemolisian demokratis secara otomatis juga menempatkan hak asasi manusia (HAM) di tempat terhormat. Dalam mewujudkan tertib hukum dan keadilan hukum, HAM menjadi penjuru setiap upaya Polri dalam menjalankan tugasnya.

Hadirnya kebutuhan transformasi ke arah ‘Pemolisian Demokratik’ memang diakui juga karena ada tantangan konteks dimensi luar yang mendorong polisi harus mengalami pembaharuan. Tentu saja tantangan itu bisa berasal dari berbagai dinamika sosial politik, ekonomi, perkembangan teknologi, hubungan internasional, perkembangan bentuk-bentuk kejahatan dan juga nilai-nilai konvensi internasional yang semakin berkembang dan mempengaruhi Indonesia. Bahkan dimensi perubahan kecil yang sekiranya dahulu dianggap sepele bisa saja mempengaruhi dimensi tugas kepolisian secara keseluruhan. Perubahan iklim misalnya, akan berdampak pada kehidupan dasar petani sehingga mengalami kesulitan pertanian. Saat gagal panen misalnya maka akan mendorong sebuah kondisi kemiskinan penduduk yang akan menjadi salah satu pemicu dari situasi keamanan dan konflik sosial. Cara baca semacam di atas tentu saja menjadi kewajiban mutlak bagi institusi kepolisian dan seluruh jajaran personilnya untuk dipakai sebagai kunci atas seluruh nalar tindakan mereka. Jika tidak, maka bisa dipastikan institusi kepolisian akan gagap dan ketinggalan jaman dan selalu akan hidup dalam nalar konvensional yang jauh dari tuntutan jaman.


Menuju Reformasi Kepolisian Yang Lebih Maju

Sudah lebih dari satu dasa warsa sejak reformasi bangsa ini bergulir, harapan terhadap perubahan citra, reformasi dan praktik kinerja di tubuh kepolisian masih amatlah tinggi. Tidak dipungkiri seiring perkembangan dan dinamika republik yang makin kompleks, tugas kepolisian amatlah besar. Sebagai salah satu tiang penting penyangga hukum, ketertiban dan pelayan masyarakat, institusi kepolisian tidak hanya dihadapkan pada tugas fungsional yang diformat dalam aturan-aturan normatif belaka. Kepolisian  juga mengemban mandat besar untuk menjadi mitra masyarakat dalam menghadapi problem-problem di sekitar masyarakat yang semakin besar.

Fungsi kerja kepolisian meliputi juga ‘mandat sosial kultural’ yang kompleks untuk menjawab pekerjaan kemanusiaan yang lebih luas. Pengayoman yang menjadi jargon harus benar-benar terimplementasi dalam praktik bukan sekedar norma-norma rujukan yang kering kenyataan. Dalam menjalankan pekerjaannya polisi tidak hanya dapat berlindung di belakang ketentuan tugas yang harus dilaksanakannya, melainkan juga diharapkan kepada persoalan tentang bagaimana tugas itu dijalankan secara benar.

Sesuai grand strategi Polri 2005-2025 dengan tekanan membangun kepercayaan masyarakat pada 2005-2010, menjalin kemitraan 2010-2015, serta pelayanan prima 2015-2025, maka seluruh personel dan lembaga Polri perlu benar-benar harus mampu mengaktualisasikan reformasi instrumen, reformasi struktur, dan reformasi kultur Polri. Tentu saja sebagai sebuah proses berbagai persoalan tantangan dan hambatan masih selalu bisa dirasakan. Tantangan terberat justru lebih hadir pada kondisi perubahan sistem dan struktural dalam kepolisian sendiri. Masih banyak yang menganggap bahwa ‘pemolisian demokratik’ masih merupakan angan-angan utopis di atas kertas. Namun  tidak sebagian dari para petiunggi kepolisian dan juga masyarakat sangat optimis bahwa reformasi perubahan ini bisa dilakukan.

Dilema-dilema dalam tataran konsep dan praktik memang kadang menggelayut menjadi satu pertanyaan-pertanyaan kecil yang perlu diluruskan. Pada praktik penerapan pemolisian sipil atau pemolisian demokratik seringkali selalu akan menyentuh proses pertanyaan tentang bagaimana dengan tindakan tegas (beberapa kasus harus menempatkan tindakan kekerasan) dikaitkan dengan  pemolisian demokratik yang memang harus jauh dengan watak kekerasan? Kebingungan-kebingungan ini masih bisa dirasakan pada tingkatan operasionalisasi. Dalam konteks aktualisasi hak demokrasi, posisi dan tugas polisi acap kali memang sulit. Kesulitan itu merupakan problem ilmiah kongkrit yang menjadi tantangan, meskipun pada aspek-aspek tertentu sering menjadi pembenaran atas kemalasan para oknum kkepolisian untuk penerapan pemolisian yang lebih demokratik.

Dalam gagasan konsepsi tentang ‘Pemolisian Demokratik’ yang dikembangkan oleh Travis (1998), ada beberapa item catatan penting mengenai karakteristik dari cita-cita pemolisian demokratik tersebut. Diantara hal-hal yang penting itu adalah : Pertama, polisi harus harus bekerja sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu profesional, memahami standar Hak Asasi Manusia, dan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; Kedua, polisi selaku pemegang amanat masyarakat, hendaknya segala perbuatannya harus profesional, mengacu pada hukum, dan menjunjung nilai-nilai etika dan norma yang berlaku di masyarakat maupun kelembagaan; Ketiga, polisi harus mempunyai prioritas utama dalam mengamankan dan melindungi kehidupan masyarakat; Keempat, polisi senantiasa melayani masyarakat tanpa pamrih dan bertanggung jawab pada masyarakat; Kelima, bahwa perlindungan yang diberikan polisi terhadap nyawa dan harta benda adalah fungsi primer dari operasi polisi yang lain; keenam, tindak tanduk polisi harus sesuai dengan martabat manusia serta Hak Asasi Manusia; Ketujuh, dalam pelaksanaan tugasnya polisi hendaknya bersikap netral dan tidak ada sikap diskriminatif.


Democratic Policing dan Model Pendidikan Akpol

Sekian gagasan dari ‘Pemolisian Demokratik’ seyogyanya juga harus mengikutsertakan pada perubahan pada dimensi yang lain. Dimensi yang sangat penting tentu saja adalah pola dan model pendidikan di Akademi kepolisian. Bagaimana calon pemimpin dan perwira kepolisian bisa menrapkan gagasan ini dalam praktik operasional di lapangan menjadi tugas yang sangat penting. Di Akpol sendiri ada tiga pilar penting yang membawa dampak seperti apa wajah dan karakter polisi yang dihasilkan. Ketiga pilar itu adalah : Pengajaran, Pelatihan dan Pengasuhan. Masing-masing dari tiga pilar itu bersinergi untuk saling melengkapi dalam menyiapkan perwira-perwira muda dalam bertugas.  Dalam tiga pilar inilah konsep gagasan dan bentuk-bentuk metodologi bagaimana polisi harus bisa membentuk ‘Pemolisian Demokratik’ sangatlah strategis bisa dikembangkan di institusi pendidikan ini.

Kurikulum Akpol disusun berdasarkan pendekatan kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap. Pendidikan dilaksanakan melalui proses pembelajaran, pelatihan dan pengasuhan dengan tujuan untuk membentuk Taruna menjadi anggota Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum yang profesional, modern dan bermoral. Lulusan Akpol diharapkan menjadi manajer tingkat pertama (first line supervisor). Dari gambaran itu saja, tentu kebutuhan pengembangan reformasi ke raha pemolisian demokratik harus beranjak dan dimulai dari dasar pengembangan pendidikanya.

Pola pengasuhan taruna dalam pendidikan akpol akan menjadi bagian krusial di dalam pembahasan ‘Seminar dan Workshop’ kali ini.  Tak untuk memperkecil pilar yang lain, pola pengasuhan memberi peran penting pada bentuk pengembangan watak dan karakter karena apa yang dikembangkan dalam ‘pola pengasuhan’ tak semata dalam kognisi semata melainkan pada aspek perilaku praktis dan sikap-sikap tertentu yang ingin dikembangkan Akpol. Tentu saja berhadapatn dengan gagasan besar ‘Pemolisian Demokratik’, harus ada sesuatu tekanan-tekanan prinsip dan model pengasuhan yang juga mengikuti prinsip-prinsip pemolisian demokratik tersebut. Poin ini menjadi tantangan dan juga kewajiban penting yang harus dikembangkan oleh pola dan model pengasuhan di Akpol. Bagaimana bentuk-bentuk pengembangan yang harus dikerjakan oleh pilar pengasuhan akan dielaborasi dalam ‘Seminar dan Workshop’ kali ini.


Tujuan Workshop dan Seminar:

  1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman penting akan prinsip dan nilai startegis bagi para pengasuh di pendidikan AKPOL Semarang dalam praktik pengembangan dan penerapan Pemolisian Demokratik (Democratic Policing);
  2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman penting mengenai berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh pendidikan AKPOL Semarang dalam rangka penerapan dan pelaksanaan prinsip Pemolisian Demokratik;
  3. Memberikan berbagai bentuk pelatihan dalam merancang dan mempraktikan secara lebih kongkrit bagaimana pola pengasuhan di AKPOL bisa selaras dengan  harapan dan cita-cita ‘Pemolisian Demokratik’.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan:
Waktu : Rabu-Jumat, 16-18 Oktober 2013
Tempat : Santika Premiere Hotel Semarang.
 
Materi Acara dalam Workshop dan Seminar:

  1. 10 “HINDARI” &  5 ”JANGAN” DALAM PENGASUHAN TARUNA AKPOL (Perspektif Democratic Policing)   
    Pemateri :  Prof. Dr. Adrianus Meliala (Kriminolog Universitas Indonesia)
  2. PEMIMPIN YANG AMANAH
    Pemateri : DR. (HC) Ir. H. SALAHUDDIN WAHID
  3. Pedoman pengasuhan akademi kepolisian semarang
    Pemateri : KBP. Drs. H. ADNAS, MSi.
  4. Pengembangan Praktik dan Pola Pengasuhan AKPOL Menuju Democratic Learning
    Pemateri :  Dr. Mohammad Kemal Dermawan (Kepala Departemen Kriminologi FISIP UI)

Peserta    :      25 orang Tenaga Pengasuh Akademi Kepolisian Semarang

Sektor pendidikan AKPOL dalam upaya menunjang peningkatan mutu lulusan perwira kepolisian, merupakan dimensi yang sangat penting bagi Institusi kepolisian. Penguatan institusi pendidikan kepolisian merupakan bagian jawaban penting dari arah kemajuan institusi ini. Sejak reformasi kepolisian digulirkan, banyak pekerjaan yang selanjutnya harus segera dikembangkan untuk mengawal berbagai tantangan perubahan yang ada. Pada prinsipnya pendidikan Akpol harus bisa menjawab berbagai tantangan yang hadir ke depan dalam setiap tugas dan mandat yang harus dikerjakan.

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) bersama Akademi Kepolisian Semarang (Akpol Semarang) telah sekian lama bekerjasama dan bermitra untuk mengambil bagian dari upaya menjawab tantangan tersebut di atas. Beberapa pengembangan dan penguatan mutu pendidikan telah dilakukan secara sinergi dengan melibatkan berbagai pihak yang ada. Program kerjasama pengembangan mutu pendidikan ini menyentuh dalam banyak riset baik pada tingkat gagasan, konsep, pemecahan masalah sampai pada pemberian langkah-langkah implementasi pendidikan. Setiap instrumen dan pilar pendidikan Akpol telah disentuh dalam program kerjasama ini,  baik pejabat, pendidik (Gadik), maupun pengasuh yang bersama-sama menjadi bagian utuh dari pilar pendidikan di Akpol.

Pada setiap bentuk workshop, pelatihan, seminar atau bantuan pengajaran di Akpol yang telah dilaksanakan, aktifitas program selalu melibatkan banyak stakeholder yang kompeten dan penting yang berasal dari berbagai kekuatan-kekuatan dan lembaga penting yang ada. Program ini seja awal menyadari bahwa, hanya dengan pelibatan banyak jejaring dan stakeholder yang ada, maka semakin bisa memperkaya dan memperdalam berbagai kebutuhan baik teknis maupun strategis. Diantara bentuk kegiatan kemitraan ini sering mendatangkan berbagai ahli, akademisi, tokoh masyarakat dan juga kekuatan civil society yang ada. Dengan berbagi gagasan dan pengalaman, harapannya bisa membantu andil besar dalam pengembangan gagasan pendidikan di Akpol.

Tidak luput Pusham UII juga melakukan berbagai bentuk aktifitas penting penunjang seperti riset penelitian dan juga penerbitan yang sangat membantu memperkaya berbagai masukan penting bagi institusi kepolisian secara umum dan juga Akpol secara khusus. Beberapa hasil riset selalu melibatkan ekplorasi yang mendalam dengan berbgai rekomendasi penting yang kita berikan kepada Akpol. Keseluruhan aktifitas itu tentu saja dirancang dan dilakukan sebagai bagian sumbangsih kekuatan sosial seperti Pusham UII

Untuk melihat sejauh mana efektif, strategis dan aplikatif apa yang sudah dikerjakan dalam berbagai program kerjasama ini, maka perlu diantara pelaksana program yakni Akpol dan Pusham UII untuk melakukan refleksi dan evaluasi. Ruang evaluasi adalah ruang  dimana masing-masing bisa memberikan catatan-catatan penting yang berguna bagi pelaksanaan program kemitraan selanjutnya. Apa yang diharapkan dalam ruang evaluasi tentu saja adalah kritik masukan dan juga rekomendasi penting apa yang bisa diberikan untuk upaya peningkatan mutu kerjasama. Poin pentingnya tentu saja agar setiap program yang berjalan bisa memberikan kontribusi yang berharga bagai masa depan institusi Akpol.

Tujuan Workshop Evaluasi:

  1. Membahas, mengkaji  dan mengevaluasi bersama secara mendalam beberbagai program kersama dan aktifitas kegiatan kemitraan Pusham UII dan Akpol Semarang untuk memberikan catatan-catatan kritis bagi pengembangan gagasan program kerjasama selanjutnya;
  2. Membahas berbagai kemungkinan pengembangan kerjasama dengan melihat secara objektif berbagai peluang dan tantangan yang ada dalam perjalanan pendidikan di Akpol;
  3. Merumuskan bentuk-bentuk aktifitas program kerjasama kembali antara Pusham UII dan Akpol Semarang dan beberapa rekomendasi penting untuk dijadikan bahan berharga bagi peningkatan mutu pendidikan di Akpol;
  4. Sebagai ruang untuk memperkuat silaturahmi dan kerekatan kerjasama antara Pusham UII dan Akpol sehingga mampu meningkatkan kualitas kemitraan secara lebih baik.

Kegiatan diadakan pada hari Selasa-Rabu, 8-9 Oktober 2013. Bertempat di Hotel Santika Premiere Semarang, Jl. Pandanaran No 116-120 Semarang. Sebelum dimulainya acara ini Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan Akademi Kepolisian Semarang mengadakan  Penandatangan Naskah Kerjasama Pengembangan Akademik POLMAS dan HAM. Peserta yang akan hadir adalah 25 orang personil dari Akademi Kepolisian Semarang, dan 5 orang perwakilan dari PUSHAM UII. Dan ada beberapa pembicara yang akan mengisi kegiatan ini diantaranya : Bapak Prof. Dr.  Mardjono Reksodiputro (Pendiri Kajian Ilmu Kepolisian UI) dengan materi “Potret Pendidikan Kepolisian Republik Indonesia dan Gagasan Pendidikan Polri yang Ideal”. Dan Bapak Prof Dr. Ki Supriyoko, S.D.U., M.Pd, dengan materi “Pendidikan sebagai Harapan Perbaikan Bangsa dan Negara”:  

Indonesia, secara tipikal merupakan masyarakat yang plural. Tidak saja karena keanekaragaman suku, ras, dan bahasa, namun juga agama. Dalam hubungannya dengan agama, pengalaman beberapa waktu terakhir memberikan kesan yang kuat akan mudahnya agama menjadi alat provokasi dalam menimbulkan ketegangan dan kekerasan di tengah-tengah masyarakat. Agama yang mengajarkan rahmatan li al-a’amin terasa kering dan mencekik tatkala mewujud dalam kekerasan, ketika dalih amar ma’ruf nahi munkar dijadikan kedok untuk bertindak anarkis dan intoleran maka yang tumbuh subur hanyalah kebencian dan kecurigaan. Taruhlah kasus yang paling aktual, ialah penyerangan FPI di Kendal. Tindakan FPI yang tidak simpatik justru memicu kemarahan warga setempat dan berujung pada jatuhnya korban jiwa. Tindakan yang ditunjukkan FPI tak ubahnya mencampuradukkan agama dengan “nafsu”, karena untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar hendaknya dilaksanakan secara ma’ruf bukan secara munkar. Menempuh cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan agama yang suci sama saja dengan mengkhianati dan mengotori kesucian itu sendiri. Kasus Kendal bukanlah kali pertama terjadi, tetapi haruskah kejadian serupa terulang kembali? Haruskah kita berbangga diri dengan Bhineka Tunggal Ika ketika toleransi kian memudar dan hormat-menghormati hanya sebatas kata.
Sebagai pengemban amanat rakyat negara semestinya memberikan rasa aman bagi setiap warga negaranya, tanpa terkecuali. Dalam konteks penanggulangan kekerasan bernuansa agama, polisi sebagai ejawantah negara terus menuai kritik tajam ketika performanya tak kunjung menghadirkan rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Bahkan konotasi “polisi India” disandang Polisi Indonesia. Parahnya lagi, polisi dinilai takut ketika berhadapan dengan ormas agama tertentu. Ini tentu memprihatinkan karena hanya institusi inilah tempat kita mencari perlindungan, rasa aman dan menaruh rasa percaya. Tidak bisa dibayangkan kalau rasa percaya kita terhadap kepolisian benar-benar hilang dan beralih ke polisi-polisi sipil sebagaimana yang terjadi di Mexico. Mendorong perbaikan di tubuh kepolisian menjadi suatu keniscayaan dan merupakan proses yang harus dipersiapkan tanpa henti.
Dalam hal kekerasan bernuansa agama, persoalan tidak akan terselesaikan apabila melulu menggunakan pendekatan agama, atau sebaliknya, penyelesaian hukum tidak akan sepenuhnya mencerabut akar-akar kekerasan termasuk yang bernuansa agama. Tak kalah penting ialah peran masyarakat dimana ruang persinggungan intern ataupun antar umat beragama praksis dilakukan setiap saat. Patut diingat bahwa agama tidak semata urusan perseorangan dengan Tuhan, lebih dari itu, agama ialah persoalan kemanusiaan. Tidak ada lagi cara pandang “saya dan kita versus kamu dan mereka”, melainkan ruang baru bagi kesaling-pahaman dan kebebasan.
Meneguhkan kembali peran polisi, masyarakat dan tokoh agama dalam penanggulangan isu keamanan—dalam kaitannya dengan kebebasan beragama—menjadi kebutuhan mendesak yang harus diperhatikan bangsa ini. Kompleksitas masalah membutuhkan penyelesaian yang komprehensif dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Hal ini lah yang melatarbelakangi diselenggarakannya seminar “Peran Polisi, Masyarakat, dan Tokoh Agama dalam Penanggulangan Isu Keamanan”.

Seminar diadakan di Jogjakarta Plaza Hotel, Jl. Affandi- Gejayan, Complex Colombo Yogyakarta. Pada hari Senin, 23 September 2013. Dengan Narasumber : Prof. Dr. Bambang Widodo Umar (Pengamat Kepolisian), Haris Azhar, S.H., M.A. (Koordinator Eksekutif KONTRAS), Puguh Windrawan, S.H., M.H. (Peneliti PUSHAM UII), Kapolda DIY, Ihsan Ali Fauzi, M.A. (PUSAD Paramadina), M. Zaini. Dan pesertanya adalah Polisi, Satpol PP, Pemerintah, NGO, Ormas Agama, Aliran Kepercayaan, COP, Mahasiswa, dan Pesantren.
Seminar bertujuan : (1) Memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi polisi, tokoh agama dan elemen masyarakat terkait fungsi dan peran masing-masing pihak dalam menjaga bina damai kehidupan beragama. (2) Mensinergikan pemahaman polisi, tokoh agama dan masyarakat dalam penanggulangan isu keamanan yang berperspektif HAM dalam konteks kebebasan beragama

Di era otoritarian, kita akan menyaksikan betapa kuatnya pemerintahan untuk mengatur dan mengendalikan segenap perilaku sosial. Seluruh komponen masyarakat dipastikan tunduk dan patuh pada otoritas pemerintah, dan siapa pun penentang dan melawan kebijakan, nasibnya pasti di berakhir di jeruji besi, dan atau bahkan dihilangkan atau dibunuh. Di era pemerintahan otoriter, tidak banyak orang berani, termasuk mereka yang tercatat sebagai kelompok milisi sipil.  Problemnya, di era otoriter, keberadaan milisi lebih banyak dibentuk dan di didik oleh kekuasaan untuk menjadi tangan kanan pengaman kekuasaan dari kritik kaum intelektual yang mendorong kehidupan yang demokrasi.
Salah satu contoh yang mengingatkan kita adalah rezim Soeharto. Di tengah kekuasaan yang begitu kuat, dan telah banyak korban pelanggaran HAM dan perilaku koruptif oleh negara, masyarakat sipil begitu massif hendak menjatuhkan rezim. Aparat dengan senjatanya memukul dan menembaki masyarakat. Karena begitu kuatnya desakan publik, di sana-sini terjadi kekacauan dan berdampak krisis moneter, Soeharto pun betul-betul jatuh. Saat-saat genting reformasi itu, pada tahun 1998 terbentuklah PAM Swakarsa yang dikomandani oleh kekuasaan, dan tugasnya adalah memukuli para demonstran, mementungi para aktifis dan mengamankan suasana agar rezim lama kembali terkonsolidasi.
Contoh nyata dari aksi milisi sipil juga adalah ketika ratusan massa menyatroni Komnas HAM karena hendak mengadili Jenderal Wiranto oleh KPP HAM di awal-awal era reformasi. Ratusan massa itu membawa golok, pedang, bambu runcing, dan menuntut Komnas HAM  agar dibubarkan. Mungkin, massa itu akan berdalih bahwa tindakan mereka adalah bagian dari hak kebebasan berpendapat, tapi aksi itu betul-betul mengarah pada ancaman dan tindakan kriminal, karena telah menggunakan perangkat senjata perang. Masalahnya, yang diancam adalah para anggota KPP HAM yang nota bene keberadaannya telah  dijamin oleh Undang-Undang untuk memeriksa dan menegakkan hukum.
Cerita di atas adalah sedikit potret bagaimana milisi terbentuk dan melakukan aksi-aksinya. Saat ini setelah beberapa tahun era reformasi berjalan, kisah tentang eksistensi milisi tidak jauh berbeda. Bahkan, saat ini keberadaan milisi lebih bervarian, lebih terorganisasi, dan melangsungkan aksi-aksinya secara sistematis. Dalam beberapa hal, keberadaan milisi bahkan lebih unggul dalam menjaga bisnis keamanan di banding dengan aparat keamanan yang dibiayai oleh negara. Para milisi itu tersebar mulai dari menggarap jasa penjagaan perusahaan, penjagaan café, penjagaan pasar, pengurusan area parker, sampai dengan penjagaan dan pemenangan partai politik. Dalam sebaran milisi itu, area yang sering terpotret adalah dalam problematika isu-isu agama, dimana para milisi sangat biasa dengan tindakan keras dan brutal terhadap kelompok agama dan atau kepercayaan yang dianggap berbeda dengan keyakinan mayoritas.
Banyak kasus yang memperliihatkan bagaimana praktek kekerasan, pembunuhan dan pengusiran yang dilakukan oleh kelompok milisi sipil terhadap kelompok masyarakat yang dianggap berbeda dengan mayoritas. Diantaranya  adalah kasus kekerasan dan pengusiran warga Syiah yang ada Sampang, kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Jawa Barat, pembunuhan dan pembakaran Tng Ayyub di Aceh, dan beberapa kasus lainnya. Dan hal terburuk dari fakta-fakta pelanggaran hukum itu adalah tiadanya penegakan hukum terhadap pelaku tindakan kriminal. Aksi pembunuhan, pemukulan, pengrusakan dan tindakan kriminal lainnya rata-rata tidak diproses secara tuntas oleh penegak hukum. Hingga muncul anggapan: penegakan hukum tidak ada bila pelaku kriminalnya adalah milisi.  

Adapun Tujuan dari workshop ini adalah:

  1. Mengetahui sejarah  milisi dan relasinya dengan kekuasaan
  2. mengetahui potret dan praktek milisi sipil
  3. Mengetahui kebijakan/tindakan  penegak hukum (Polri)  dalam menangani kasus yang melibatkan milisi sipil sebagai pelaku, dan dapat mengetahui faktor-faktor  yang menyebabkan   mandeknya proses hukum yang melibatkan milisi sipil sebagai pelaku
  4. Ingin mendengarkan cerita langsung, baik dari korban, pelaku dan atau penegak hukum terhadap kasus kekerasan yang melibatkan milis sipil.


Workshop diadakan pada Hari Selasa-Rabu, 3-4 September 2013. Bertempat di Hotel Santika Premiere Yogyakarta. Partisipan dari workshop ini berjumlah 25 orang yang berasal dari unsur NGO yang konsen pada advokasi, Ormas, perguruan tinggi, dan polisi.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top