NEWS
Latest News by the Center for Human Rights
Studies of the Universitas Islam Indonesia
- 10 September 2016
Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru, bahkan menggantikan substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang yang lama memposisikan penyandang cacat sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain. Undang-undang terbaru ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut jauh lebih humanis dalam melihat penyandang disabilitas yakni sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).
Waktu dan Tempat Kegiatan
Hari : Rabu-Jum’at, 7-9 September 2016
Tempat : Griya Limasan Niela Sary, Jl. Pramuka, Gg. Kecubung, Rt. 6 RW 16, Pandansari, Wonosari, Gunungkidul
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
- Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
- 7 September 2016
Di pertengahan tahun 2016, Pusham UII melakukan penelitian selama satu bulan dengan isu besar “Pemenuhan Hak Atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas”. Penelitian ini pada dasarnya bukan kali pertama dilakukan oleh Pusham UII. Tahun 2014 penelitian yang serupa pernah dilakukan di Makassar dan Surakarta. Kali ini Gunungkidul dipilih menjadi lokasi penelitian dengan berbagai pertimbangan. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan dasar 4 kasus faktual yang terjadi di Gunungkidul. Penelitian pun hanya dibatasi pada kasus-kasus pidana. Mengapa penting untuk mengkaji persoalan penyandang disabilitas dalam sistem peradilan pidana? Setidaknya terdapat 3 alasan yang mendasar. Pertama, penyandang disabilitas ialah orang-orang yang terklasifikasi memiliki kemampuan dan kecakapan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu mereka seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Hukum menjadi hal yang sangat urgen untuk dihadirkan sehingga dapat mengambil peran dalam bentuk dipenuhinya hak-hak mereka terutama ketika berhadapan dengan hukum (sistem peradilan pidana). Kedua, sistem peradilan pidana hanya memandang korban suatu tindak pidana, termasuk penyandang disabilitas tak lebih tak kurang hanya dilihat sekedar saksi. Pendefinisian saksi menjadi gap bagi penyandang disabilitas mengakses sistem peradilan itu sendiri. Ketiga, kurangnya kapasitas aparat penegak hukum yang sensitif dan ramah difabel. Maka untuk mewujudkan peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas basisnya ialah mengurai persoalan-persoalan mendasar tersebut.
Hasil yang didapat dalam penelitian selaras dengan persoalan diatas, terkonfirmasi dalam berbagai temuan lapangan. Berbagai temuan-temuan menarik muncul, mulai dari hal-hal yang sifatnya teknis sampai hal-hal yang sifatnya substantif. Misal, ialah bagaimana menjembatani gap komunikasi perempuan korban perkosaan yang notabene penyandang disabilitas mental retardasi ketika menjalani BAP. Atau kasus perempuan korban perkosaan dengan kondisi korban yang menggunakan kursi roda. Apakah gedung-gedung peradilan di setting untuk aksesibel bagi mereka? Dua kasus tersebut hanyalah bagian kecil persoalan ketika penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, padahal kebutuhan penyandang disabilitas berbeda satu sama lain.
Narasi dari berbagai narasumber penelitian makin memperjelas hambatan-hambatan yang dihadapi dari penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. Persoalannya, apakah hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas kemudian diatasi demi mendekatkannya pada ruang-ruang keadilan, ataukah didiamkan berdiri kokoh. Seminar “Pemenuhan Hak atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas di Gunungkidul” ialah pemaparan hasil penelitian yang dilakukan di Gunungkidul. Dalam seminar hasil penelitian akan dihadirkan pula Kapolres, Kajari dan KPN Gunungkidul untuk merespon dan sharing pengalaman ketika menghadapi kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai korban, saksi ataupun pelaku.
Waktu dan Tempat
Waktu : Selasa, 6 September 2016
Tempat : Niela Sary Resto dan Catering, Jl. Wonosari-Jogja Km. 2.5, Siyono, Gunungkidul.
Peserta terdiri dari berbagai elemen: polisi; jaksa; hakim; BAPAS/Balai Pemasyarakatan Klas II Wonosari; P2TP2A Gunungkidul; Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Gunungkidul; Dinas Kesehatan Gunungkidul, Guru-Guru SLB di Gunungkidul, FKDG (Forum Komunikasi Difabel Gunungkidul), PD Muhammadiyah Gunungkidul, PC NU Gunungkidul, SIGAB, SAPDA, Ciqal, Handicap International, PKBI Gunung Kidul.
Tujuan Kegiatan
- Pemaparan hasil penelitian “Pemenuhan Hak atas Peradilan yang Fair di Gunungkidul”.
- Berbagi pengalaman atau Best Practices Aparat Penegak Hukum ketika menghadapi kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku.
- 3 September 2016
Pemerintah Indonesia belum lama ini telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan pada banyak aspek pelayanan publik demi terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas. Pelayanan tersebut terkait pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan dan juga di bidang pelayanan hukum. Pelayanan hukum ini terkait dengan terpenuhinya hak-hak hukum penyandang disabilitas seperti hak atas kewarganegaraan, hak untuk mendapatkan pelayanan akses perbankan dan juga hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, secara umum hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas pada proses peradilan ada dua hal, yaitu hambatan fisik dan hambatan non fisik. Oleh karenanya, pengadilan harus mulai memenuhi aksesibilitas, baik fisik maupun non fisik, dalam rangka memenuhi hak-hak penyandang disabilitas pada proses peradilan. Aksesibilitas fisik berkaitan dengan kewajiban peradilan untuk memastikan bahwa sarana fisik seperti gedung pengadilan, ruang sidang, berkas acara pemeriksaan, surat dakwaan maupun tuntutan, aksesibel bagi penyandang disabilitas. Gedung bertingkat dengan lantai berundak yang tajam pastilah menyulitkan pengguna kursi roda untuk mengakses peradilan. Berkas dakwaan dan tuntutan dalam bentuk hard copy pasti akan menyulitkan bagi penyandang disabilitas netra untuk membacanya. Debat persidangan yang berbahasa rumit pasti akan menyulitkan penyandang disabilitas intelektual untuk memahami dakwaan atau tuntutan bagi mereka.
Sedangkan aksesibilitas non fisik terkait bekerjanya prosedur hukum yang dapat memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini terkait misalnya bagaimana orang tuli dan bisu dapat memberikan keterangan di pengadilan, bagaimana aparat penegak hukum berkomunikasi dengan mereka, dan juga bagaimana substansi hukum mampu memberikan jaminan atas kebutuhan spesifik mereka.
Berangkat dari beberapa alasan di atas, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) bekerjasama dengan Pusat Pendidikan dan Latihan Mahkamah Agung (PUSDIKLAT MA) akan menyelenggarakan workshop dalam rangka menyusun kurikulum pendidikan dan latihan bagi hakim-hakim di lingkungan Mahkamah Agung.
Kegiatan dilaksanakan di Grand Mercure Jakarta Harmoni. Pada hari Kamis hingga Jumat, 1-2 September 2016. Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah:
- Berbagi pengetahuan tentang bagaimana pelayanan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas pada proses peradilan.
- Merumuskan materi-materi penting yang akan dijadikan kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi hakim.
- 28 August 2016
Sistem pendidikan di Akademi Kepolisian (AKPOL) bertujuan untuk mewujudkan terciptanya sosok Perwira Polri yang ideal, dilaksanakan melalui aspek kegiatan pengajaran, pelatihan, dan pengasuhan. Mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2010 tentang Sistem Pendidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengasuhan diartikan sebagai proses interaksi antara peserta didik dengan Gadik pada satu lingkungan belajar untuk membentuk sikap, mental, moral, dan perilaku terpuji. Pengasuhan pada Akademi Kepolisian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pengasuh dan Taruna Senior sesuai lingkup tugas dan tanggungjawabnya dalam bentuk pembinaan, bimbingan, dan pengawasan kepada Taruna secara terencana dan konsisten untuk menjadikan Taruna sebagai pribadi unggul, berilmu ilmiah, beramal amaliah, memiliki kompetensi sebagai anggota Bhayangkara, memahami Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Pedoman Pengasuhan Taruna AKPOL.
Secara umum, pengasuhan memiliki tujuan untuk merubah, membentuk, menumbuhkembangkan, membulatkan, mematangkan, dan mendewasakan sikap perilaku Taruna untuk menuju Perwira Polri yang ideal. Untuk menjamin bahwa pola pengasuhan yang diberikan sesuai dengan tujuannya dan secara efektif dilaksanakan, maka perlu dilakukan evaluasi yang juga merupakan bagian tidak terpisah dari kurikulum pendidikan di AKPOL.
Sistem evaluasi merupakan bagian tidak terpisah dari kurikulum pendidikan yang bertujuan untuk memberikan umpan balik dan perbaikan terhadap keberhasilan sistem pendidikan di AKPOL. Tenaga ahli kami siap membantu dan mendampingi dalam penyusunan dan penerapan sistem evaluasi pola pengauhan berbasis karakter di AKPOL.Kegiatan Workshop “Penyusunan Kurikulum Pola Pengasuhan Taruna Akademi Kepolisian Berbasis Karakter” dilaksanakan di Hotel Grand Edge Semarang, 23 – 25 Agustus 2016.
- 10 June 2016
Peningkatan angka kekerasan seksual dan maraknya kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak. Kasus-kasus itu begitu rupa telah membuat banyak orang berang, marah serta tak sedikit mengutuk tindakan kekerasan seksual tersebut. Banyaknya peristiwa itu tidak hanya mengancam perlindungan pada perempua dan anak tetapi sekaligus sebuah tamparan keras bagi cita-cita terpenuhinya penghargaan atas harkat martabat manusia. Problem itu perlu untuk direspon dan dijawab secara mendalam dan berkeadilan.
Dalam pembacaan yang lebih luas, fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dipengaruhi oleh banyak kaitan dan tautan dimensi. Jauh dari hanya sekedar soal moralitas ataupun problem patologis libido seksual manusia, problem ini banyak menyeret akar persoalan yang jauh lebih kompleks. Faktor sosial ekonomi politik memberi andil akan ruang yang semakin rawan akan hadirnya problem kekerasan. Pada dimensi yang tidak kalah penting, situasi ini adalah rupa dan wajah gambaran dari mekanisme nalar kuasa bekerja dan relasi kehidupan masyarakat.
Perempuan dan anak yang diletakkan pada kondisi dan konteks budaya dan sosial yang asimetris patriakhal tentu akan menjadi subjek yang selalu rentan dan rawan menjadi korban dalam berbagai relasi yang dijalaninya. Setidaknya beberapa kasus yang muncul juga memberi bukti yang lebih kompleks ketimbang problem moralitas dan patologi libido semata. Perspektif car abaca ini belumlah menjadi kesadaran nalar yang meluas. Dalam banyak kasus dan respon sosial yang muncul, justru tidak sedikit juga memberikan kesalahan pada tingkah laku dan tindakan perempuan.
Mengapa perspektif yang tidak adil pada perempuan ini terus masih bertahan? Bagaimana seharusnya car a baca yang lebih tepat dan adil bisa dibangun dalam merespon dan menanggapi isu-isu tersebut? Tentu kebutuhan penting untuk bisa menemukan akar masalah dan geneologi persoalan tentang kekerasan sosial berkait dengan spektrum dimensi yang lebih luas.
Belum lama ini pemerintah juga merespon peningkatan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terus terjadi. Pemerintah Jokowi telah mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu itu salah satunya memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Apa yang baru dan menarik untuk dilihat adalah, Perpu itu juga mengatur tiga sanksi tambahan yakni ‘kebiri kimiawi’, ‘pengumuman identitas ke publik’ serta ‘pemasangan alat deteksi elektronik’.
Sebagian masyarakat menyambut baik atas keputusan pemerintah dengan penerbitan Perpu tersebut, namun tidak sedikit yang memberi catatan dan penolakan terutama terhadap posisi sanksi hukuman. Bukan semata pada metodologi sanksi tetapi juga menyangkut perspektif dasar yang dipakai pemerintah untuk pengeluaran Perpu tersebut. Kritik yang gencar diberikan pada pemerintah adalah menyangkut perspektif dasar yang masih menganggap problem patologin libido seksual sebagai persoalan. Bahkan beberapa penilaian melihat bahwa pemberatan sanksi dan jenis sanksi hukuman itu tidak akan menjamin akan penurunan jumlah kekerasan dan perkosaan melainkan akan menumbuhkan jenis baru pemerkosaan.
Setidaknya ada masukan perspektif yang melihat bahwa kasus-kasus perkosaan tidak semata persoalan libido melainkan sangat terkait dengan persoalan diskriminasi gender atau kekerasan berbasis gender. Kekerasan bahkan dipandang sebagai bentuk wajah dari mekanisme nalar kuasa yang bekerja dalam masyarakat, termasuk misalnya nalar diskriminasi kuasa patriakal dan sistem relasi ekonomi politik yang masih timpang dan menempatkan perempuan dalam struktur kelas kedua dalam masyarakat.
Tentu sangat menarik, penting dan juga mendesak untuk isu dan problem itu selalu kita baca dan kaji untuk membantu menemukan dimensi dasar yang harus dipecahkan. Proses legalisasi dan formalisme pemberatan hukuman bisa jadi menjadi langkah perkembangan dari proses mensikapi kekerasan seksual yang ada. Namun legalisasi pemberatan hukuman juga harus dilihat dalam berbagai kaitan dimensi yang perlu dilihat. Perkara memutus akar kekerasan berdimensi gender beserta segala kerumitannya membutuhkan cara baca yang lebih luas ketimbang hanya persoalan legalitas hukum semata. Pada titik inilah tema ini menjadi sangat penting untuk dielaborasi terus-menerus.
Tujuan Capaian Diskusi :
- Mengkaji dan menemukan dimensi-dimensi mendasar yang menjadi akar pokok persoalan atas peningkatan fenomena pelecehan, pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
- Mencari perspektif lebih maju dan berkeadilan atas penyikapan kasus kekerasan, pelecehan swkauL dan perkosaan terhadap perempuan dan anak di Indonesia:
- Memberikan catatan tawaran dan solusi tepat dan mendalam untuk pemecahan persoalan terutama terkait dengan berbagai polemik sanksi pemberatan hukuman pelaku perkosaan dan pelecehan seksual di Indonesia.
Pelaksanaan Acara :
Hari/Tanggal : Rabu, 8 Juni 2016
Waktu : 09.00 – 13.00 WIB
Tempat : Ruang Seminar Pusham UII Yogyakarta
Narasumber:
- Indriyati Suparno, SS (Komisioner Komnas Perempuan)
- Dian Arymami, SIP, M.Hum (Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM )
- Ernawati (Aktivis Perempuan Yogyakarta)
Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons With Disabilities) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Substansi ratifikasi ini memberikan arah pemahaman dan paradigma baru, bahkan menggantikan substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-Undang yang lama memposisikan penyandang cacat sebagai kelompok orang yang kurang beruntung, kurang normal, sering dimarginalkan dan kebijakan pemerintah bagi mereka didasarkan pada paradigma kebaikan berbasis belas kasihan (charity). Undang-undang hasil ratifikasi memberikan paradigma baru bahwa penyandang disabilitas merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lain. Mereka harus diberikan akses yang setara, diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas masing-masing, dan seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada upaya menghilangkan hambatan yang dapat menghalangi upaya mereka untuk meraih kesetaraan dengan yang lain. Undang-undang terbaru ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut jauh lebih humanis dalam melihat penyandang disabilitas yakni sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Paradigma di atas juga berpengaruh pada bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Sejauh ini, aparat penegak hukum dan institusinya belum memiliki perspektif dan keahlian mengenai bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas pada proses peradilan. Hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yang banyak ketika mereka menjalan proses peradilan baik mulai dari tahap penyidikan di kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan dan tahap pemeriksaan maupun putusan di pengadilan. Secara umum kendala tersebut antara lain (1) kurangnya kemampuan aparat penegak hukum dalam mengenali jenis-jenis disabilitas dan bagaimana memperlakukan setiap jenis disabilitas agar proses hukum berjalan dengan baik, (2) kurangnya sarana dan prasarana sehingga tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan tidak berjalan secara optimal, (3) sarana fisik, seperti model bangunan, model ruang pemeriksaan dan fasilitas publik lain yang belum aksesibel sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengikuti tahapan-tahapan prosedur hukum, (4) masih banyak kendala norma dan asas hukum yang menyebabkan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan tidak terpenuhi secara optimal.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, maka perlu diselenggarakan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Kegiatan ini berupa training interaktif dengan menggunakan metode pelatihan active learning atau partisipatoris. Training akan dilaksanakan dengan memposisikan peserta sebagai narasumber bagi yang lain dengan dibantu oleh fasilitator. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).
Waktu dan Tempat Kegiatan
Hari : Rabu-Jum’at, 7-9 September 2016
Tempat : Griya Limasan Niela Sary, Jl. Pramuka, Gg. Kecubung, Rt. 6 RW 16, Pandansari, Wonosari, Gunungkidul
Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
- Memperkenalkan konsep disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak asasi manusia, khususnya tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan pemahaman tentang hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan keahlian (skill) kepada aparat penegak hukum mengenai cara dan metode memenuhi aksesibilitas penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.