BEDAH BUKU DAN WORKSHOP “Perlindungan Kebebasan Beragama: Potret dan Dinamika Kepolisian di Daerah”

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat dalam diri manusia sebagai manusia tidak lahir dengan sendirinya. Seluruh negara di atas bumi ini, memiliki sejarah panjang terkait HAM, kita tahu bagaimana suku aborigin direndahkan, suku Indian dikucilkan, dan bangsa Yahudi dibunuh dan diperbudak tanpa rasa kemanusiaan. Rentetan sejarah panjang Hak Asasi Manusia itu, membawa kesadaran kolektif seluruh negara bahwa hak asasi manusia harus diperjuangkan. Kita beruntung karena terlahir dimana dunia telah mengenal HAM dengan berbagai kemajuannya, namun tidak berarti kita sama sekali lepas dari tanggungjawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati keberadaan HAM. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, berbagai varian pelanggaran hak asasi manusia juga mengalami perkembangan. Oleh karena itu, pusat pengkajian terhadap hak asasi manusia tidak dapat berhenti di tengah jalan, to pretect, to respect, and to fullfil, hak asasi manusia juga merupakan tanggung jawab kemanusiaan yang harus diperjuangkan

Dalam konteks nasional, negara Indonesia pun memiliki sejarah panjang yang memalukan sekaligus memilukan terkait hak asasi manusia. Memalukan karena negara yang sejak berdirinya telah berkomitmen untuk menjadikan filsafat “kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai landasan bernegara, justru merendahkan derajad manusia hingga ke titik nadir. Memilukan karena sampai hari ini, masih sangat banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tidak jelas arah rimbanya, tidak jelas siapa pelakunya, hingga akhirnya tidak ada yang bertanggung jawab. Segala potensi pelanggaran hak asasi manusia, dibingkai dan dibungkus rapi dalam angan-angan “menjaga keutuhan bangsa” atau integrasi nasional, padahal senyatanya ia hanya merupakan bentuk alienasi dari pembumi hangusan manusia.

Atas komitmen terhadap hak asasi manusia itu, Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) membulatkan tekad untuk menjadi lembaga yang secara khusus melakukan pendidikan, penelitian, dan pengabdian serta dakwah pada bidang hak asasi manusia. Komitmen itu dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah amanat nasional sebagai bagian dari NKRI, serta amanat agama sebagai khalifah di muka bumi. PUSHAM UII selalu berupaya mengambil peran aktif dalam seluruh dinamika hak asasi manusia, baik dengan melakukan penelitian lansung atas suatu peristiwa HAM yang terjadi atau melakukan advokasi kepada pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan.

Salah satu aspek yang tengah menjadi fokus utama PUSHAM UII adalah terkait perlindungan terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang sama usianya dengan HAM itu sendiri. Kebebasan beragama dan keyakinan (freedom of religion and belief) merupakan salah satu bagian dari HAM yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, serta tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Hak ini selain tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), terdapat juga dalam berbagai dokumen historis HAM lainnya, seperti dokumen Magna Charta (1215), Bill of Rights England (1689), Rights of man France (1789), Bill of Rights of USA (1971) dan lain sebagainya juga dengan jelas dan nyata diakui dalam Pancasila khususnya sila pertama. Bagi bangsa Indonesia, dalam konteks aturan mengenai jaminan atas hak kebabasan beragama telah dibuat cukup lengkap. Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam UUD 1945 Pasal 28 E juga menyebutkan, “1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; 2) Setiap orang berhak  atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya; dan 3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Tidak hanya itu, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan juga kembali diteguhkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Artinya, kita sebenarnya sudah memiliki  landasan konstitusional dan perundangan bagi terpenuhinya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hanya saja faktanya, amanat konstitusi dan perundangan tersebut sakti di atas kertas, tapi lumpuh dan tak berdaya dalam kenyataan. Dikatakan demikian, sebab masih banyak ditemukan peraturan-peraturan di bawahnya yang restriktif dan bertentangan dengan semangat konstitusi. Bahkan, tidak jarang justru pemerintah yang mengingkari konstitusi itu sendiri. Negara, melalui aparatur pemerintahnya, acapkali terlibat sebagai aktor yang ikut merampas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan kelompok-kelompok minoritas, terutama karena tak mampu menghadapi desakan dan tuntutan dari mayoritas. Tak mengherankan, jika kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terjadi dan terjadi terus karena “direstui” dan “disponsori” oleh negara dan pemerintah. Pelanggaran sebagaimana dimaksud tidak hanya dalam konteks negara melakukan tindakan lansung (termasuk dalam hal aturan) yang melanggar hak kebebasan beragama, namun saat negara melakukan pemibiaran terhadap pelanggaran hak kebebasan beragama yang terjadi, esensinya negara pun telah ikut menyumbang pelanggaran itu.

Oleh karena itu, komitmen PUSHAM UII dalam kasus pelanggaran terhadap HAM dalam bidang kebebasan beragama tersebut, diwujudkan dengan melakukan penelitian pada tahun 2016-2017 dengan tema “Perlindungan Kebebasan Beragama; Potret dan Dinamika Kerja Kepolisian di Daerah”. Penelitian ini dibukukan dan diterbitkan pada tahun 2017. Dalam rangka menambah kualitas dan kapasitas penelitian PUSHAM UII, maka pada tanggal 26 Juli 2017 di adakan acara bedah buku terhadap buku hasil penelitian tersebut. Hadi sebagai pembicara sekaligus pembedah dalam acara ini: Romo Haryatmoko, Busyro Muqoddas, dan Kapolda DIY, Amad Dofiri. Ketiga pembicara memberikan kritik sekaligus saran dan berbagai masukan terhadap hasil penelitian para peneliti PUSHAM. Dari sekian banyak masukan, yang paling ditekankan oleh para pembicara adalah terkait dengan minimnya penggunaan teori, metode yang kurang tepat, dan pengambilan kesimpulan yang kerap kali tidak relevan dengan masalah yang dikemukakan.

Sebagai tindak lanjut dari berbagai masukan pasca acara bedah buku tersebut, lalu pada tanggal 27 Juli acara dilanjutkan dengan pelatihan penelitian yang diikuti oleh para peneliti Pusham UII. Pelatihan ini dilakukan dalam rangka menyatukan frame para peneliti Pusham agar dalam penelitian berikutnya terdapat kesatuan metode. Pada akhir kegiatan, juga disepakti ketentuan terkait dengan kerangka acuan penelitian untuk penelitian-penelitian yang akan datang, dengan harapan dapat menunjang kualitas para peneliti.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top