Terminologi yang penulis gunakan dalam artikel ini adalah “pemilukada”, bukan “pilkada”, bukan pula “pemilihan” seperti yang selama ini digunakan. Terkait dengan pemilihan kepala daerah, terdapat perdebatan panjang yang melelahkan bahkan sampai hari ini belum selesai, yaitu apakah rezim pemilihan kepala daerah termasuk rezim pemilu, ataukah rezim pemilihan kepala daerah. Konsekuensi pilihan atas dua hal ini sangatlah panjang, ia berkaitkelindan dengan mekanisme pemilihan (lansung atau tidak lansung), lembaga penyelenggara, hingga proses penyelesaian sengketa (MK atau bukan), dan masih banyak hal lainnya. Tentu masing-masing pihak yang berbeda pendapat, memiliki argumentasi dan kepentingannya sendiri. Namun, paska Putusan MK Nomor 55 Tahun 2019, perdebatan itu sejatinya telah berakhir. MK telah menyatakan pemilihan kepala daerah merupakan bagian atau rezim dari pemilu sebagai diatur di dalam Pasal 22E UUD N RI Tahun 1945, konsekuensi logisnya baik mekanisme, kelembagaan, maupun penyelesaian sengketa juga mengikuti ketentuan pemilu. Dengan kata lain, penyelenggara Pemilukada adalah KPU, Bawaslu, dan DKPP sedangkan penyelesaian sengketa berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, terminologi yang lebih tepat untuk digunakan adalah pemilukada.
Pemilukada di tahun 2020 ini akan diselenggarakan di 270 daerah di Indonesia, artinya lebih dari setengah daerah akan melansungkan pesta demokrasi lokal. Pemerintah telah memutuskan pemilukada tetap diselenggarakan di tahun ini, yaitu 09 Desember 2020 mendatang, sekalipun pandemi covid-19 belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Pilihan ini, dengan semua konsekuensinya tentu telah dipertimbangkan dengan baik oleh pemerintah, pemunduran pemilukada yang terlampau lama, akan memiliki konsekuensi negatif terhadap penyelenggaraan otonomi di daerah, karena akan dipimpin oleh Pejabat Sementara yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri dengan kewenangan yang sangat terbatas.
Harus diakui, pandemi covid-19 telah mengalihkan perhatian semua pihak dalam penyelenggaraan pemilukada Desember 2020 mendatang, termasuk penyelenggara, pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil. Kita terfokus dengan penambahan anggaran pemilukada, keselamatan penyelenggara dan pemilih, optimalisasi wewenang pengawasan, dan berbagai hal teknis lainnya. Sehingga, banyak aspek substantif yang terlupakan, tidak menjadi perhatian, padahal keberadaannya begitu vital dalam konteks pemajuan demokrasi lokal. Salah satunya adalah keberadaan calon tunggal dalam pemilukada.
Setelah melewati perjalanan panjang dan berubah-ubah, akhirnya UU Nomor 10 Tahun 2016 mengakomodir keberadaan calon tunggal dengan dasar Putusan MK Nomor 100/PUU-XII/2015. Kalau diperhatikan, keberadaan calon tunggal terus mengalami peningkatan setiap waktunya. Dalam catatan penulis, pada Pemilukada serentak tahun 2015 lalu terdapat tiga kabupaten yang memiliki calon tunggal dari 269 kabupaten/kota dan provinsi penyelenggara Pemilukada. Tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 9 dari 101 daerah penyelenggara Pemilukada dan kembali meningkat pada tahun 2018 menjadi 16 dari 171 pilkada. Pada Desember 2020 mendatang, akan ada 270 daerah yang mengikuti kontestasi Pemilukada, sehingga dapat dipastikan akan terjadi peningkatan yang cukup signifikan terhadap calon tunggal kepala daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Terlebih dalam kondisi pandemi covid-19 seperti saat ini, banyak aspek yang mendukung tumbuh suburnya calon tunggal. Banyak pihak yang mulai menyadari, memenangkan kontestasi Pemilukada dengan menjadi calon tunggal relatif lebih mudah dari berbagai sudut (kecuali biaya). Sampai hari ini, hanya ada satu daerah di mana calon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong.
Ada problem substantif yang cukup fatal dalam pengakomodiran calon tunggal dalam pemilukada, terlebih dalam negara demokrasi yang masih syarat dengan transaksional dan interaksi patron-client seperti Indonesia. Pemilukada lansung yang sebelumnya diniatkan menjadi pendidikan politik dan pemenuhan kedaulatan rakyat daerah, dapat berubah menjadi transaksi “binal” elit politik di daerah-daerah. Menjadi calon tunggal, terutama petahana, di daerah tidaklah sulit, cara yang paling banyak digunakan adalah dengan “membeli” suara partai-partai politik di daerah yang bersangkutan, sehingga tidak ada ruang untuk calon lain mencalonkan diri. Kalaupun ada partai yang mendukung, presentasenya tidak memenuhi syarat untuk mengusung pasangan calon, sehingga gagal sejak awal. Pada aspek ini, harus kita akui bahwa komitmen partai politik dalam pemajuan demokrasi masih sangat rendah. Partai menyumbang peran yang cukup besar dalam berbagai masalah demokrasi yang mengangkangi Indonesia saat ini. Di sisi lain, keberadaan calon perseorangan tidak bisa terlalu diharapkan, dengan persyaratan yang sangat sulit, hampir tidak ada yang berminat menjadi calon perseorangan, apalagi mengumpulkan berbagai persyaratan ditengah pandemi saat ini tidaklah mudah. Lagi-lagi, ini juga adalah ulah partai politik di senayan, yang tidak begitu “senang” dengan kehadiran calon perseorangan.
Problem substantif berupa demokrasi transaksional dan patron-client di atas, tentu tidak dapat dihilangkan semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat aspek pendidikan politik, kesejahteraan, dan banyak faktor lain yang mempengaruhi. Namun, dalam konteks negara hukum modern, yang dapat kita lakukan adalah memperbaiki sistem yang ada, untuk menutup celah sekecil mungkin bagi tumbuh kembangnya demokrasi transaksional dan patron-client tersebut. Keberadaan calon tunggal dalam pemilukada sudah seharusnya dievaluasi, dampak negatif yang ditimbulkannya jauh lebih buruk terutama dalam pemajuan demokrasi Indonesia. Pilihannya, bisa saja dengan menutup ruang calon tunggal sama sekali, sehingga calon kepala daerah minimal harus ada dua calon, atau dengan memudahkan persyarata calon perseorangan.