PANDEMI DAN CALON PERSEORANGAN

Pemilihan umum kepala daerah serentak (Pemilukada) sampai hari ini tetap akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020 mendatang, dengan segala konsekuensi dan kompleksitas persoalannya. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 memang telah menyediakan prosedur penundaan tahapan pemilukada, yaitu atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR, sehingga alternatif penundaan masih tetap tersedia, jika memang pelaksanaan pada Desember mendatang tidak memungkinan. Sejauh ini, KPU dan Bawaslu telah melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual dukungan terhadap calon perseorangan. Menariknya, verifikasi faktual dilakukan dengan model lama, yaitu mendatangi dari rumah ke rumah.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah secara demokratis, UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur keberadaan calon perseorangan untuk maju sebagai calon kepala daerah daerah. Di samping calon yang diusulkan atau diusung oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik. Pada mulanya, calon perseorangan adalah jawaban “hukum” atas krisis demokrasi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Pertama, calon perseorangan adalah sebagai bentuk perlindungan hak politik untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Sekalipun keberadaan partai politik adalah keniscayaan dalam negara demokrasi, namun hak asasi seseorang untuk dipilih harus tetap tersedia. Oleh karena itu, hukum menyediakan mekanisme calon perseorangan sebagai pengejawantahan dari hak asasi tersebut. Kedua, calon perseorangan merupakan solusi apabila terjadi kebuntuan politik, di mana tidak ada partai yang mau mengusung calon lain, padahal ada tokoh yang dianggap potensial di daerah yang bersangkutan. Mekanisme calon perseorangan, memungkinkan orang tersebut untuk mencalonkan diri. Ketiga, calon perseorangan juga menjadi solusi bagi maraknya calon tunggal yang selama ini muncul. UU membuka peluang bagi keberadaan calon tunggal dengan hanya melawan kotak kosong, akibatnya banyak calon “bermodal” yang berbondong-bondong menjadi calon tunggal dengan membeli semua suara partai di daerahnya. Sehingga tidak memungkinkan munculnya calon dari partai lain. Calon tunggal adalah jawaban dari masalah itu, sekalipun tanpa dukungan partai politik, tetap dimungkinkan muncul pasangan calon kepala daerah lain.

Masalahnya, eksistensi calon perseorangan pada saat ini belum berhasil menjadi alternatif bagi kriris demokrasi yang dihadapi Indonesia. Pasalnya, ada ‘cacat’ bawaan yang dimiliki oleh mekanisme calon perseorangan, manjadikannya sulit bergerak, layu, lalu mati ditinggalkan. Tidak sedikit pula pihak yang menganggap mekanisme calon perseorangan memang direncanakan untuk gagal (intended to fail), sebagai bentuk arogansi para pembuat UU.

Pertama, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme calon perseorangan, masih mensyaratkan jumlah dukungan yang sangat besar, yaitu didukung paling sedikit 10% jumlah penduduk dalam kabupaten/kota yang jumlah daftar pemilih tetapnya 250.000 jiwa, 8.5% bagi daerah yang jumlah DPT nya 250.000-500.000 jiwa, 7,5% bagi daerah yang jumlah DPT nya 600.000-1.000.000 jiwa, dan 6.5% bagi daerah yang jumlah DPT nya di atas 1.000.000 jiwa. Selain itu, jumlah dukungan tersebut juga harus tersebar di lebih dari 50%  jumlah kecamatan di daerah. Jumlah tersebut tentu sangatlah besar, sehingga untuk dapat menjadi calon perseorangan membutuhkan sumber daya dan biaya yang tidak sedikit. Padahal, sumber daya yang dimiliki caon perseorangan tentu sangatlah terbatas.  Dengan persyaratan yang demikian, maka menjadi calon kepala daerah melalui mekanisme perseorangan berpotensi membutuhkan sumber daya dan biaya yang jauh lebih besar ketimbang melalui partai politik. Wajar saja jika sampai hari ini, jalur perseorangan belum banyak diminati oleh masyarakat daerah. Kedua, dengan model replikasi sistem pemerintahan nasional ke tingkat daerah, di mana hampir seluruh kebijakan strategis kepala daerah membutuhkan dukungan mayoritas anggota DPRD, maka potensi penolakan oleh DPRD sangatlah besar, jika kebijakan itu tidak mengakomodir kepentingan partai politik masing-masing anggota DPRD. Lebih jauh, kemungkinan untuk dimakzulkan di pertengahan jalan, juga sangat besar, sekalipun membutuhkan dukungan putusan dari Mahkamah Agung.

Terlebih, dalam kondisi pandemi covid-19 seperti saat ini, memenuhi persyaratan dukungan yang demikian besar tidaklah mudah. Bukan hanya sulit mencari relawan yang bersedia untuk mencari syarat ke lapangan, namun masyarakat juga dipastikan enggan untuk bertemu dengan siapapun. Kondisi ini tentu dimaklumi karena kebijakan sosial distancing masih tetap berlangsung, diperparah pula dengan minimnya transfer pengatahuan yang benar terkait covid-19 dan tahapan pemilukada, sehingga kekhawatiran dan ketakutan berkembang dengan ‘liarnya’. Bagi calon perseorangan, yang mensyaratkan dukungan dengan fotocopy KTP el, dituntut untuk terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat tempat dimana ia mencalonkan diri, pekerjaan tersebut sangat tidak mudah dilakukan dalam situasi normal sekalipun, terlebih pada masa pandemi seperti saat ini. Berbeda halnya dengan calon yang diusung partai politik, hanya mensyarakatkan dukungan partai politik atau gabungan partai politik dengan presentase 20% suara saja.

Sekalipun calon perseorangan dinyatakan lolos pada tahapan verifikasi administrasi dan faktual, hambatan belumlah selesai. Masih banyak mekanisme lanjutan yang tidak kalah sulitnya, rapat tim sukses, kampanye politik, pastilah tidak mudah pada masa pandemi saat ini. Kalaupun harus tetap dilaksanakan, biaya politik yang dikeluarkan tentu sangat besar. Dengan itung-itungan politik yang demikian, maka tidak mengherankan jika banyak orang yang menarik diri menjadi calon perseorangan pada pemilukada 2020 mendatang. Tahapan pemilukada sudah dimulai, tentu tidak lagi memungkinkan untuk mengubah mekanisme calon perseorangan, namun, ini dapat menjadi catatan pemerintah ke depan, dalam rangka merekonsepsi ulang calon perseorangan.

en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top