Workshop Hasil Riset dan Penulisan Buku “Pemenuhan Hak Atas Peradilan yang Fair bagi Penyandang Disabilitas”

Penyandang disabilitas masih saja dianggap sebagai bagian dari ketidaknormalan dalam suatu masyarakat. Anggapan miring dan perilaku diskriminatif tersebut masih dianggap sebagai suatu kepatutan dalam memperlakukan mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa praktek kehidupan sehari-hari di masyarakat masih menegasikan stigma negatif terhadap penyandang disabilitas, misal saja dianggap sebagai orang yang tidak produktif, tergantung pada orang lain, dan tidak cakap atas dirinya. Parahnya lagi, hal ini kemudian direduksi menjadi gugusan nilai yang salah kaprah dalam melihat persoalan disabilitas. Alhasil, jangan heran jika sampai saat ini program bagi penyandang disabilitas masih banyak bersifat karitas atau hanya mendudukkan penyandang disabilitas sebagai obyek dan bukan subyek hukum yang utuh.
Persamaan hak dan tersedianya layanan yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas (baik fisik maupun non-fisik) menjadi suatu keharusan. Indonesia memang telah memiliki Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Namun selain implementasinya yang lemah, penggunaan istilah “penyandang cacat” dalam undang-undang tersebut mengukuhkan kembali stigma negatif serta persepsi yang tidak tepat terkait dengan kemampuan para penyandang disabilitas. Perundangan ini pun dirasa kurang komprehensif dalam menjawab kebutuhan penyandang disabilitas. Bila kita melihat isinya, perundang-undangan ini memberikan pengaturan terhadap enam isu secara umum, yaitu pendidikan, ketenagakerjaan, aksesibilitas, rehabilitasi, bantuan sosial, dan kesejahteraan sosial. Sedang hak-hak politik dan isu lainnya seperti kesamaan di hadapan hukum, akses terhadap keadilan, budaya, dan olah raga tidak disebut-sebut.
Pada bulan Oktober tahun 2011, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas atau United Nations Convention on the Rights of Persons with Dissabilities (UNCRPD). Ratifikasi UNCRPD oleh Pemerintah Indonesia adalah sebuah tindakan yang memberikan pergeseran mendasar dalam melihat persoalan disabilitas, yakni dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia dan menegaskan bahwa penyandang disabilitas menikmati hak asasi manusia yang sama dengan orang-orang lainnya dalam ranah sipil, budaya, ekonomi, politik, dan sosial. Dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, dijelaskan bahwa “disabilitas” adalah sebuah konsep yang menjelaskan hasil dari interaksi antara individu-individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual dengan sikap dan lingkungan yang menjadi penghambat kemampuan mereka berpartisipasi di masyarakat secara penuh dan sama dengan orang-orang lainnya (Preamble butir e). Pengakuan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa persoalan hambatan berpartisipasi harus menjadi tanggung jawab masyarakat dan Negara juga. Sikap masyarakat dan kebijakan pemerintah yang mengakomodasi prinsip hak asasi manusia berupa prinsip non-diskriminasi, kesetaraan serta kesempatan yang sama dan mengakui adanya keterbatasan yang dapat diatasi jika diupayakan aksesibilitas fisik dan non-fisik merupakan faktor penting dalam mengatasi kondisi yang disebut “disabilitas”. Peningkatan kesadaran masyarakat dan tanggung jawab Negara untuk mengatasi disabilitas menjadi tugas penting sehingga setiap orang, terlepas dari jenis dan keparahan kecacatan (impairment) yang dimiliki mampu menikmati hak-hak mereka yang paling mendasar.
Kekhawatiran atas perlakuan yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas bukanlah perkara yang mengada-ada. Meskipun UUD 1945 memuat pernyataan yang jelas yang mendorong non-diskriminasi, kesamaan di hadapan hukum, dan hak untuk memperoleh perlakukan yang sama di hadapan hukum, peraturan perundang-undangan terkait penyandang disabilitas tidak mewujudkan perlindungan-perlindungan tersebut. Salah satunya ialah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini membolehkan seorang suami melakukan poligami dalam situasi tertentu, salah satunya ialah bila istrinya memiliki atau menderita kecacatan fisik atau suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ada juga aturan KUHP dan KUHAP yang memandang penyandang disabilitas sebagai orang-orang yang tak cakap hukum. Belum lagi bangunan-bangunan yang tidak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum, misal Kantor Kepolisian dan Pengadilan yang tidak ramah atas kebutuhan mereka.
Apabila regulasi saja sudah diskriminatif, lalu bagaimana prakteknya?. Padahal aturan-aturan hukum tersebut merupakan harapan munculnya keadilan di tengah-tengah masyarakat. Persoalan semakin rumit lagi apabila dibenturkan dengan tradisi pendekatan formalistik dalam menafsirkan hukum.
Aparat penegak hukum di Indonesia, secara umum, lebih sering dan senang menggunakan pendekatan legisme positivistic dalam memahami, menafsirkan dan menerapkan hukum. Hasilnya adalah hukum dipahami sebagai teks norma yang kaku yang hanya ditafsirkan secara gramatik tanpa memberikan pemihakan yang lebih jelas kepada korban dan kelompok masyarakat rentan termasuk di dalamnya adalah penyandang disabilitas. Pada konteks praktek hukum, penyandang disabilitas dianggap sebagai kelompok rentan lebih karena posisinya yang direntankan oleh teks dan sistem serta aparatur penegak hukum. Penyandang disabilitas seringkali menghadapi pengorbanan ganda (double victimization), di satu sisi telah menjadi korban kejahatan dan disisi lain menjadi korban atas stigma negatif dan ketertutupan akses keadilan akibat pemaknaan dan penafsiran sempit dari aparat penegak hukum.
Pada aspek praktek penegakan hukum, terdapat dua kontroversi penting yang harus diselesaikan. Pertama, kontroversi tersebut berkaitan dengan kasus dimana penyandang disabilitas sebagai korban perbuatan pidana dan penyandang disabilitas sebagai pelaku perbuatan pidana. Beberapa kasus mengafirmasi bahwa ketika penyandang disabilitas menjadi korban perbuatan pidana, maka aparat penegak hukum terkesan “malas” dan kesulitan untuk merekonstruksi hukum untuk mengadili pelaku. Dengan alasan korban tidak dapat memberikan kesaksian yang memadai, maka proses peradilan perbuatan pidana tersebut tidak diteruskan. Pada kasus ini, aparat penegak hukum lupa bahwa korban, siapapun dia, seperti apapun kondisi fisik dan mentalnya, mereka adalah manusia yang memiliki hak atas perlindungan dari ancaman dan praktek perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain. Di sinilah letak kewajiban Negara untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya, siapapun dia.
Di sisi lain, aparat penegak hukum juga kesulitan menerapkan hukum manakala terdapat seorang penyandang disabilitas melakukan perbuatan pidana. Sebagai pelaku, maka ‘tersangka’ perbuatan pidana berhak atas berbagai perlindungan prosedural agar hak-hak mereka tidak terlanggar. Kontroversinya adalah apakah disabilitas pelaku dapat digunakan sebagai alasan pemaaf atas perbuatan pidana yang mereka lakukan. Bagaimana proses peradilan bagi mereka? Apakah harus tertutup atau terbuka? Bagaimana jika pada kasus tersebut terdapat persilangan isu yang rumit. Contoh, terjadi perkosaan yang dilakukan oleh anak laki-laki, mentally retarded yang usia kalendernya sudah dewasa (26 tahun), tetapi usia mentalnya baru 11 tahun dan korban adalah perempuan mentally retarded usia 13 tahun. Bagaimana proses peradilan berjalan, apakah menggunakan sistem peradilan orang dewasa atau anak-anak? Dimana pelaku ditahan? Apakah disamakan dengan pelaku-pelaku lain atau diberi fasilitas yang khusus? Jika ditahan di rutan yang sama dengan pelaku lain, apakah tidak membahayakan untuk dirinya?
Dari sekian banyak persoalan tersebut, pertanyaan utamanya adalah bagaimana kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pelaku dan korban disabilitas pada proses penegakan hukum
Kontroversi kedua, adalah pada perkara-perkara perdata. Bagaimana status hukum penyandang disabilitas (jika tidak semua, misal pada beberapa kategori disabilitas seperti orang dan keterbelakangan mental/mentally retarded). Apakah mereka dapat memiliki legal standing yang sama dengan orang lain dalam perkara-perkara perdata. Apakah mereka dapat menjadi pihak penggugat pada perkara pembagian harta warisan? Apakah mereka dapat menggugat atas penyerobotan tanah miliknya yang dilakukan oleh orang lain dan/atau korporasi? Jika jawabannya bisa, bagaimana prosedur hukum penguasaan haknya kepada pihak lain?  
Berangkat dari berbagai hal diatas, maka dibutuhkan penguatan pengetahuan tentang isu-isu disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Maka Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia dengan dukungan dari Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) akan menyelenggarakan workshop penyusunan buku “Pemenuhan Hak Atas Peradilan Yang Fair Bagi Penyandang Disabilitas”.
Workshop dilaksanakan pada Kamis-Jum’at 12-13 Desember 2013. Bertempat di Hotel Grand Quality Yogyakarta, Jl. Adisucipto No. 48 Yogyakarta. Workshop bertujuan : (1) Memaparkan temuan penelitian pengalaman penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum (penelitian di Makasar, Solo dan Yogyakarta). (2) Penyusunan outline buku tentang “Pemenuhan Hak Atas Peradilan Yang Fair Bagi Penyandang Disabilitas”. (3) Merumuskan silabi pelatihan bagi aparat penegak hukum, khususnya hakim di Indonesia.

Materi dan Narasumber :

  1. Praktek Peradilan Kasus yang Melibatkan Penyandang Disabilitas, baik Sebagai Pelaku maupun Sebagai Korban.
    Narasumber: Agus Darmanto, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo)
  2. Memahami Tanggungjawab Negara di Bidang Hukum Pasca Ratifikasi Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas.
    Narasumber: Aria Indrawati (Mitra Netra Jakarta)
  3. Memahami Kebutuhan Pendampingan Hukum Penyandang Disabilitas.
    Narasumber: Pujiana (Yayasan ATMA Surakarta)
en_GBEN
Scroll to Top
Scroll to Top